BAB VIII
GIZI BAYI
A. Pengertian Status Gizi Balita
Status gizi adalah Status gizi status
kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrient
(Beck 2002 dalam Jafar 2010). Menutut Almatsier (2005) status gizi
didefinisikan sebagai suatu.keadaan tubuh akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi.
Klasifikasi Status Gizi
Balita
Dalam menentukan status gizi balita harus ada ukuran baku yang
sering disebut reference. Pengukuran baku antropomentri yang sekarang digunakan
di Indonesia adalah WHO-NCHS. Menurut Harvard dalam Supariasa 2002, klasifikasi
status gizi dapat dibedakan menjadi empat yaitu:
a. Gizi lebih (Over weight)
Gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah
berlebihan sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan (Almatsier,
2005). Kelebihan berat badan pada balita terjadi karena ketidakmampuan antara energi
yang masuk dengan keluar, terlalu banyak makan, terlalu sedikit olahraga atau
keduanya. Kelebihan berat badan anak tidak boleh diturunkan, karena penyusutan
berat akan sekaligus menghilangkan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan
(Arisman, 2007).
b. Gizi baik (well nourished)
Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh
memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien sehingga
memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan
kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin (Almatsier, 2005).
c. Gizi kurang (under weight)
Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau
lebih zat-zat esensial (Almatsier, 2005).
d. Gizi buruk (severe PCM)
Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan
kekurangan nutrisi, atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah
standar rata-rata. Nutrisi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan
kalori. Di Indonesia, kasus KEP (Kurng Energi Protein) adalah salah satu
masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita (Lusa, 2009). Menurut
Depkes RI (2005) Paremeter BB/TB berdasarkan Z-Score diklasifikasikan menjadi :
1)
Gizi Buruk (Sangat Kurus) :
<-3 SD
2)
Gizi Kurang (Kurus) : -3SD
sampai <-2SD
3)
Gizi Baik (Normal) : -2 SD
sampai +2SD
4)
Gizi Lebih (Gemuk) : > +2 SD
B. Gizi Seimbang Pada
Balita
Gizi Seimbang adalah susunan makanan sehari–hari
yang mengandung zat-zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan
kebutuhan tubuh, dengan memerhatikan prinsip keanekaragaman atau variasi
makanan, aktivitas fisik, kebersihan, dan berat badan (BB) ideal (Koalisi
Fortifikasi Indonesia, 2011). Bahan makanan yang dikonsumsi anak sejak usia
dini merupakan fondasi penting bagi kesehatan dan kesejahteraannya di masa depan.
Dengan kata lain, kualitas sumber daya manusia (SDM) hanya akan optimal, jika
gizi dan kesehatan pada beberapa tahun kehidupannya di masa balita baik dan
seimbang. SDM berkualitas inilah yang akan mendukung keberhasilan pembangunan
nasional di suatu negeri. Secara global, tercapainya keadaan gizi dan kesehatan
yang baik serta seimbang ini merupakan salah satu tujuan utama Millennium Develpoment
Goals (MDGs) 2015 yang dicanangkan oleh UNICEF (Soekirman, 2006 dalam Jafar,
2010). Menurut Koalisi Fortifikasi Indonesia dalam Wahyuningsih 2011,PGS
memperhatikan 4 prinsip, yaitu:
1)
Variasi makanan;
2)
Pedoman pola hidup sehat;
3)
Pentingnya pola hidup aktif dan
olahraga;
4)
Memantau berat badan ideal.
Prinsip Gizi Seimbang adalah kebutuhan jumlah gizi disesuaikan dengan
golongan usia, jenis kelamin, kesehatan, serta aktivitas fisik. Tak hanya itu,
perlu diperhatikan variasi jenis makanan. Bahan makanan dalam konsep gizi seimbang
ternbagi atas tiga kelompok, yaitu:
1)
Sumber energi/tenaga:
Padi-padian, umbi-umbian, tepung-tepungan, sagu, jagung, dan lain-lain.
2)
Sumber zat Pengatur: Sayur dan
buah-buahan
3)
Sumber zat pembangun: Ikan,
ayam, telur, daging, susu, kacang-kacangan dan hasil olahannya seperti tempe,
tahu, oncom,susu kedelai (Candra, 2013).
C. Metode Penilaian Status Gizi Balita
1. Antropometri
Antropometri
sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa
parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain:
umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar
dada, lingkar panggul dan tebal lemak dibawah kulit. Ukuran tubuh manusia yang
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh
dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
Penggunaan
untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energy (Supariasa, 2002).
Dari beberapa pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan dan lingkar lengan
sesuai dengan usia adalah yang paling sering dilakukan dalam survei gizi. Untuk
keperluan perorangan di keluarga, berat badan (BB), tinggi badan (TB) atau
panjang badan (PB) adalah yang paling dikenal (Soekirman, 2000).
2. Klinis
Metode
ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan
ketidakcukupan gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit,
mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaaan
tubuh seperti kelenjar tiroid. Penggunaan untuk survey klinis secara cepat
(Supariasa, 2002).
3. Biokimia
Pemeriksaan
spesimen yang diuji secara laboratories yang dilakukan pada berbagai macam
jaringan tubuh yang digunakan anatara lain: darah, urine, tinja dan juga
beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Penggunaan untuk suatu
peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah
lagi (Supariasa, 2002).
4. Biofisik
Penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi dan melihat perubahan
struktur jaringan. Penggunaan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta
senja epidemic (epidemic of night blindness) (Supariasa, 2002).
5. Survei konsumsi makanan
Metode
penentuan gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi
yang dikonsumsi. Penggunaan dengan pengumpulan data konsumsi makanan dapat
memberikan gambaran tentang konsumsi barbagai zat gizi pada masyarakat,
keluarga dan individu (Supariasa, 2002).
6. Statistic vital
Dengan
menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian
berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu dan
data lainya yang berhubungan dengan gizi. Penggunaan sebagai bahan indikator
tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat (Supariasa, 2002).
D. Jenis-jenis Indikator status gizi balita
Masa balita merupakan masa yang menentukan
dalam tumbuh kembangnya yang akan menjadikan dasar terbentuknya manusia seutuhnya.
Karena itu pemerintah memandang perlu untuk memberikan suatu bentuk pelayanan
yang menunjang tumbuh kembang balita secara menyeluruh terutama dalam aspek
mental dan sosial. Pertumbuhan dan perkembangan saling mendukung satu sama lain
perkembangan seorang anak tidak dapat maksimal tanpa dukungan atau optimalnya
pertumbuhan. Misalnya seorang anak yang kekurangan gizi akan mempengaruhi
perkembangan mental maupun sosialnya, oleh karena itu keduanya harus mendapat
perhatian baik dari pemerintah, masyarakat maupun orang tua. Salah satu
indikator untuk melihat pertumbuhan fisik anak adalah dengan melihat status
gizi anak dalam hal ini balita. Sebagai alat ukur untuk mengetahui tingkat
perkembangan seorang anak dengan menggunakan Kartu Menuju Sehat (KMS)
(Soetjiningsih, 2002). Semua kejadian yang berhubungan dengan kesehatan anak
sejak lahir sampai berumur lima tahun, perlu dicatat dalam KMS, misalnya identitas
anak, tanggal lahir dan tanggal pendaftaran, serta penyakit yang pernah dideritanya.
KMS berisi pesan-pesan penyuluhan tentang penanggulangan diare, makanan anak.
Sehingga ibu senantiasa membawa KMS pada semua kegiatan kesehatan dan cenderung
ingin kontak dengan petugas kesehatan untuk merujuk anaknya. Hal ini dapat
digunakan sebagai pengamatan status gizi anak, disamping mempunyai kelebihan
maupun kekurangannya (Soetjiningsih,2002).
Untuk mengetahui apakah berat badan dan
tinggi badan normal, lebih rendah atau lebih tinggi dari yang seharusnya,
dilakukan perbandingan dengan suatu standard internasional yang ditetapkan oleh
WHO (Soekirman, 2000).Di dalam ilmu gizi status gizi tidak hanya diketahui
dengan mengukur BB atau TB sesuai dengan umur (U) secara sendiri-sendiri,
tetapi juga dalam bentuk indikator yang dapat merupakan kombinasi antara
ketiganya, sebagai berikut :
1. Indikator BB/U
Indikator
BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena
mudah berubah. Kelebihan indikator BB/U adalah Dapat dengan mudah dan cepat
dimengerti oleh masyarakat umum; Sensitif untuk melihat perubahan status gizi
dalam jangka waktu pendek; dan Dapat mendeteksi kegemukan. Sedangkan kelemahan
indikator BB/U adalah interpretasi status gizi dapat keliru apabila terdapat
pembengkakan atau oedem; data umur yang akurat sering sulit diperoleh terutama
di Negara-negara yang sedang berkembang; kesalahan pada saat pengukuran karena
pakaian anak yang tidak dilepas/ dikoreksi dan anak bergerak terus; masalah
social budaya setempat yang mempengaruhi orangtua untuk tidak mau menimbang
anaknya karena dianggap seperti barang dagangan (Soekirman, 2000).
2. Indikator TB/U
Indikator
TB/U menggambarkan status gizi masa lalu. Adapun kelebihan indikator TB/U
adalah dapat memberikan gambaran riwayat keadaan gizi masa lampau: dapat
dijadikan indikator keadaan social ekonomi penduduk. Sedangkan kekurangannya
adalah kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang badan pada kelompok usia
balita; tidak dapat menggambarkan keadaan gizi saat kini; memerlukan data umur
yang akurat yang sering sulit diperoleh di negara-negara berkembang; kesalahan
sering dijumpai pada pembacaan skala ukur, terutama bila dilakukan oleh petugas
non-profesional.
3. Indikator BB/TB
Indikator BB/TB menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi
saat ini. Berat badan berkorelasi linier dengan tinggi badan, artinya dalam keadaan
normal perkembangan berat badan akan mengikuti pertambahan tinggi badan pada
percepatan tertentu.Adapu kelebihan indikator BB/TB adalah independen terhadap
umur dan ras; dapat menilai status “kurus” dan “gemuk”; dan keadaan marasmus
atau KEP berat lain.Sedangkan kelemahannya adalah kesalahan pada saat
pengukuran karena pakaian anak yang tidak dilepas /dikoreksi dan anak bergerak
terus; masalah social budaya setempat yang mempengaruhi orangtua untuk tidak
mau menimbang anaknya karena dianggap seperti barang dagangan; kesulitan dalam
melakukan pengukuran panjang atau tinggi badan pada kelompok usia balita;
kesalahan sering dijumpai pada pembacaan skala ukur, terutama bila dilakukan
oleh petugas non-profesionaltidak dapat memberikan gambaran apakah anak
tersebut pendek, normal dan jangkung (Soekirman, 2000).
E. Faktor-faktor yang
mempengaruhi status gizi balita
1. Keadaan Infeksi
Ada
hubungan yang erat antara infeksi (bakteri, virus dan parasit) dengan kejadian
malnutrisi. Ditekankan bahwa terjadi interaksi yang sinergis antara malnutrisi
dengan penyakit infeksi (Supariasa, 2002). Penyakit infeksi akan menyebabkan
gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu menghilangkan bahan makanan melalui
muntah-muntah dan diare. Selain itu penyakit infeksi seperti infeksi saluran
pernapasan dapat juga menurunkan nafsu makan (Arisman, 2004). Mekanisme
patologisnya dapat bermacam-macam, baik secara sendirisendiri maupun bersamaan,
yaitu penurunan asupan zat gizi akibat kurangnya nafsu makan, menurunnya
absorbsi dan kebiasaan mengurangi makan pada saat sakit, peningkatan kehilangan
cairan/zat gizi akibat penyakit diare, mual/muntah dan perdarahan terus menerus
serta meningkatnya kebutuhan baik dari peningkatan kebutuhan akibat sakit dan
parasit yang terdapat dalam tubuh (Supariasa, 2002).
2. Tingkat Konsumsi Makanan
Konsumsi
makanan oleh keluarga bergantung pada jumlah dan jenis pangan yang dibeli,
pemasakan, distribusi dalam keluarga. Hal ini bergantung pada pendapatan,
agama, adat kebiasaan, dan tingkat pendidikan. Dinegara Indonesia yang jumlah
pendapatan penduduk sebagian rendah adalah golongan rendah dan menengah akan
berdampak pada pemenuhan bahan makanan terutama makanan yang bergizi
(Almatsier, 2005). Universitas Sumatera UtaraPengukuran konsumsi makan sangat
penting untuk mengetahui kenyataan apa yang dimakan oleh masyarakat dan hal ini
dapat berguna untuk mengukur status gizi dan menemukan faktor diet yang dapat menyebabkan
malnutrisi (Supariasa, 2002). Kurangnya jumlah makanan yang dikonsumsi baik
secara kualitas maupun kuantitas dapat menurunkan status gizi. Anak yang
makanannya tidak cukup maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan mudah
terserang infeksi (Ernawati, 2006).
3. Pengaruh Budaya
Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam pengaruh budaya antara lain sikap terhadap
makanan, penyebab penyakit, kelahiran anak, dan produksi pangan. Dalam hal
sikap terhadap makanan, masih terdapat pantangan, tahayul, tabu dalam
masyarakat yang menyebabkan konsumsi makanan menjadi rendah. Konsumsi makanan
yang rendah juga disebabkan oleh adanya penyakit, terutama penyakit infeksi
saluran pencernaan. Jarak kelahiran anak yang terlalu dekat dan jumlah anak
yang terlalu banyak akan mempengaruhi asupan gizi dalam keluarga. Konsumsi zat
gizi keluarga yang rendah, juga dipengaruhi oleh produksi pangan. Rendahnya
produksi pangan disebabkan karena para petani masih menggunakan teknologi yang
bersifat tradisional (Supariasa, 2002).
4. Penyediaan Pangan
Penyediaan
pangan yang cukup diperoleh melalui produksi produksi pangan dalam menghasilkan
bahan makanan pokok, lauk pauk, sayur-mayur dan buah-buahan. Merupakan program
untuk menambah nutrisi pada balita ini biasanya diperoleh saat mengikuti posyandu.
Adapun pemberin tambahan makanan tersebut berupa makanan pengganti ASI yang
biasa di dapat dari puskesmas setempat (Almatsier, 2005). Penyebab masalah gizi
yang pokok di tempat paling sedikit dua pertiga dunia adalah kurang cukupnya
pangan untuk pertumbuhan normal, kesehatan, dan kegiatan normal. Kurang
cukupnya pangan berkaitan dengan ketersediaan pangan dalam keluarga. Tidak
tersedianya pangan dalam keluarga yang terjadi terus menerus akan menyebabkan
terjadinya penyakit kurang gizi (Ernawati, 2006).
5. Keterjangkauan Pelayanan kesehatan.
Status gizi anak berkaitan dengan keterjangkauan terhadap pelayanan kesehatan
dasar. Anak balita sulit dijangkau oleh berbagai kegiatan perbaikan gizi dan
kesehatan lainnya karena tidak dapat datang sendiri ke tempat berkumpul yang
ditentukan tanpa diantar (Sediaoetama, 2000 dalam Ernawati, 2006). Beberapa
aspek pelayanan kesehatan dasar yang berkaitan dengan status gizi anak antara
lain: imunisasi, pertolongan persalinan, penimbangan anak, pendidikan kesehatan
anak, serta sarana kesehatan seperti posyandu, puskesmas, rumah sakit, praktek
bidan dan dokter. Makin tinggi jangkauan masyarakat terhadap sarana pelayanan
kesehatan dasar tersebut di atas, makin kecil risiko terjadinya penyakit gizi
kurang (Ernawati, 2006).
6. Higiene dan Sanitasi Lingkungan
Hal
ini bergantung pada kebersihan lingkungan atau ada tidaknya penyakit yang
berpengaruh zat-zat gizi oleh tubuh. Sanitasi lingkungan sangat terkait dengan
ketersediaan air bersih, ketersediaan jamban, jenis lantai rumah serta
kebersihan peralatan makan pada setiap keluarga. Makin tersedia air bersih untuk
kebutuhan sehari-hari, makin kecil risiko anak terkena penyakit kurang gizi (Soekirman,
2000). Higienitas makanan adalah Tindakan nyata dari ibu anak balita dalam
kebersihan dalam mengelola bahan makanan, penyimpanan sampai penyajian makanan
balita
7. Jumlah Anggota Keluarga
Seandainya
anggota keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang. Usia 1 -6
tahun merupakan masa yang paling rawan. Kurang energi protein berat akan
sedikit dijumpai pada keluarga yang jumlah anggota keluarganya lebih kecil
(Winarno 1990 dalam Ernawati 2006).
8. Tingkat Pendapatan
Kemiskinan
sebagai penyebab gizi kurang menduduki posisi pertama pada kondisi yang umum di
masyarakat (Latief dkk 2000 dalam Ernawati 2006). Batas kriteria UMR (Upah
mimimum regional) menurut BPS untuk daerah pedesaan adalah Rp.1.375.000,-
9. Tingkat Pendidikan Ibu
Pendidikan
sangat mempengaruhi penerimaan informasi tentang gizi. Masyarakat dengan
pendidikan yang rendah akan lebih mempertahankan tradisitradisi yang
berhubungan dengan makanan sehingga sulit menerima informasi baru di bidang
Gizi. Selain itu tingkat pendidikan juga ikut menentukan mudah tidaknya
seseorang menerima suatu pengetahuan. Semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang, akan semakin mudah dia menyerap informasi yang diterima termasuk
pendidikan dan informasi gizi yang mana dengan pendidikan gizi tersebut
diharapkan akan tercipta pola kebiasaan yang baik dan sehat (Handayani 1994
dalam Ernawati 2006). Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan
seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan menginplementasikannya
dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan
perbaikan gizi. Tingkat pendidikan dapat disederhanakan menjadi pendidikan
tinggi (tamat SMA- lulusan PT) dan pendidikan rendah (tamat SD – tamat SMP).
Hal ini sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk daerah wajib belajar 12 tahun
(Nuh, 2013) .
10. Pengetahuan Ibu Tentang Gizi
Pengetahuan
tentang kadar gizi dalam berbagai bahan makanan, kegunaan makanan bagi
kesehatan keluarga dapat membantu ibu memilih bahan makanan yang harganya tidak
begitu mahal akan tetapi nilai gizinya tinggi (Soekanto 2002 dalam Yusrizal
2008). Kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi berakibat pada rendahnya anggaran
untuk belanja pangan dan mutu serta keanekaragaman makanan yang kurang.
Keluarga lebih banyak membeli barang karena pengaruh kebiasaan, iklan, dan
lingkungan. Selain itu, gangguan gizi juga disebabkan karena kurangnya
kemampuan ibu menerapkan informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari
(Winarno 1990 dalam Ernawati 2006).
Tata Cara Download
- Masuk pada postingan
- Lihat dibagian bawah tempat download yang di sediakan
- Makan akan masuk kedalam safelink-niszk
- tunggu sekitar 10 detik
- Maka akan langsung redirect ke link download tersebut.