LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI SEDIAN
STERIL
Injeksi Chlorpheniramin
Maleas
Disusun oleh :
·
Diantika Putri (P23139014024)
·
Fajar Riadi (P231390140 )
·
Fatin Nursalam (P23139014029)
Tingkat
2A
Semester
3
Dosen
pengawas :
Dra
Gloria Murtini T, M.Si., Apt
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN
JAKARTA II JURUSAN FARMASI
Jl. Percetakan Negara No.23 Jakarta Pusat
2016
KATA PENGANTAR
Kami panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan laporan praktikum berjudul “Injeksi
Chlorampeniramin Maleas” ini dalam
waktu yang telah ditentukan.
Dalam penyusunan makalah ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai
pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada Dra
Gloria Murtini T, M.Si., Apt. selaku Pengawas Mata Kuliah Teknologi Sediaan
Steril dan pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini.
Kami menyadari
bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran kepada pembaca agar laporan ini
menjadi lebih baik. Semoga ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Jakarta, Oktober 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
i
Daftar Isi
ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.
Penggolongan
2.
Macam-macam Cara
Penyuntikan
3.
Keuntungan
4.
Kerugian
BAB II. PEMBAHASA
1.
Preformulasi
2.
Pendekatan formulasi
3.
Formulasi
4.
Perhitungan
5.
Penimbangan
6.
Cara Kerja
7.
Evaluasi
8.
Kemasan&etiket
9. DaftarPustaka
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Pengertian
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, injeksi adalah
sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi atau serbuk yang harus
dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan, yang
disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau
melalui selaput lendir.
Sedangkan menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, injeksi
adalah injeksi yang dikemas dalam wadah 100 mL atau kurang. Tujuan
obat dibuat steril (seperti injeksi) karena berhubungan langsung dengan darah
atau cairan tubuh dan jaringan tubuh lain dimana pertahanan terhadap zat asing
tidak selengkap yang berada di saluran cerna/gastrointestinal, misalnya hati
yang dapat berfungsi untuk menetralisir / menawarkan racun(detoksikasi=detoksifikasi).
Injeksi vial
adalah salah satu bentuk sediaan steril yang umumnya digunakan pada dosis ganda
dan memiliki kapasitas atau volume 0,5 mL – 100 mL. Injeksi vial pun dapat
berupa takaran tunggal atau ganda dimana digunakan untuk mewadahi serbuk bahan
obat, larutan atau suspensi dengan volume sebanyak 5 mL atau pun lebih.
Injeksi klorfeniramini maleat
mengandung klorfeniramini maleat C₁₆H₁₉ClN₂.C₄H₄O₄ tidak kurang dari 90,0 %
dan tidak lebih 110,0 % dari jumlah yang tertera pada etiket.
Dalam
FI.ed.IV, sediaan steril untuk kegunaan parenteral digolongkan menjadi 5 jenis
yang berbeda :
1. Sediaan berupa larutan dalam air/minyak/pelarut organik yang
lain yang digunakan untuk injeksi, ditandai dengan nama, Injeksi................
Dalam FI.ed.III disebut berupa Larutan. Misalnya : Inj. Vit.C,
pelarutnya aqua pro injection Inj. Camphor oil , pelarutnya Olea
neutralisata ad injection Inj. Luminal, pelarutnya Sol Petit atau
propilenglikol dan air
2. Sediaan padat kering (untuk dilarutkan) atau cairan pekat tidak
mengandung dapar, pengencer atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh
setelah penambahan pelarut yang sesuai memenuhi persyaratan injeksi, ditandai
dengan nama , ...................Steril.
Dalam FI.ed..III disebut berupa zat padat kering jika akan disuntikkan
ditambah zat pembawa yang cocok dan steril, hasilnya merupakan larutan yang
memenuhi syarat larutan injeksi. Misalnya: Inj. Dihydrostreptomycin
Sulfat steril
3. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk
larutan yang memenuhi persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan
bahan pembawa yang sesuai, ditandai dengan nama , ............ Steril untuk
Suspensi.
Dalam
FI.ed.III disebut berupa zat padat kering jika akan disuntikkan ditambah zat
pembawa yang cocok dan steril, hasilnya merupakan suspensi yang memenuhi syarat
suspensi steril. Misalnya : Inj. Procaine Penicilline G steril untuk
suspensi.
4. Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan
tidak disuntikkan secara intravena atau ke dalam saluran spinal, ditandai
dengan nama , Suspensi.......... Steril.
Dalam
FI.ed.III disebut Suspensi steril ( zat padat yang telah disuspensikan
dalam pembawa yang cocok dan steril) . Misalnya : Inj. Suspensi Hydrocortisone
Acetat steril
5. Sediaan berupa emulsi, mengandung satu atau lebih dapar,
pengencer atau bahan tambahan lain, ditandai dengan nama, .............
Untuk Injeksi.
Dalam FI.ed.III disebut bahan obat dalam pembawa cair yang cocok, hasilnya merupakan emulsi yang memenuhi semua persyaratan emulsi steril. Misalnya : Inj. Penicilline Oil untuk injeksi
Menurut Prinsip Kerjanya, sediaan
injeksi steril dapat dibuat dengan 2 cara, yaitu :
1. Na-Steril
(sterilisasi akhir), yaitu Cara kerja yang dilakukan dengan
penyeterilan dilakukan di akhir proses pencampuran. Hal ini biasa dilakukan
pada bahan obat yang tahan pemanasan. Alat yang digunakan dicuci bersih dan
bahan obat baru disterilkan pada akhir proses pembuatan dengan wadah yang sudah
tertutup rapat dan siap dikemas
2. Aseptis
yaitu Cara kerja yang dilakukan untuk mencegah sedapat mungkin agar mikroba
tidak masuk. Dalam hal ini mikroba tidak dimusnahkan. Cara kerja ini digunakan
untuk obat-obatan yang sama sekali tidak tahan pemanasan. Semua alat yang
digunakan dalam prinsip ini harus steril, obat yang dapat disterilkan harus
disterilkan lebih dahulu. Ruang kerja yang digunakan harus bersih (steril),
sedapat mungkin pekerja menggunakan pakaian steril karena kemungkinan paling
banyak mengkontaminasi terletak pada pekerja, terutama tangan dan nafasnya.
Dalam hal ini, Inj. CTM dibuat dengan cara Na-Steril, karena bahan obat yang digunakan tahan terhadap pemanasan.
B.
Macam
– macam Cara Penyuntikan
1. Injeksi intrakutan
( i.k / i.c ) atau intradermal Dimasukkan ke dalam
kulit yang sebenarnya, digunakan untuk diagnosa. Volume yang disuntikkan antara
0,1 - 0,2 ml, berupa larutan atau suspensi dalam air.
2. Injeksi subkutan (
s.k / s.c ) atau hipodermik Disuntikkan ke dalam
jaringan di bawah kulit ke dalam alveolar, volume yang disuntikkan tidak lebih
dari 1 ml. Umumnya larutan bersifat isotonik, pH netral, bersifat depo
(absorpsinya lambat). Dapat diberikan dalam jumlah besar (volume 3 - 4
liter/hari dengan penambahan enzym hialuronidase), bila pasien tersebut tidak
dapat diberikan infus intravena. Cara ini disebut" Hipodermoklisa ".
3. Injeksi
intramuskuler ( i.m ) Disuntikkan ke dalam atau diantara
lapisan jaringan / otot. Injeksi dalam bentuk larutan, suspensi atau emulsi
dapat diberikan secara ini. Yang berupa larutan dapat diserap dengan cepat,
yang berupa emulsi atau suspensi diserap lambat dengan maksud untuk mendapatkan
efek yang lama. Volume penyuntikan antra 4 - 20 ml, disuntikkan perlahan-lahan
untuk mencegah rasa sakit.
4. Injeksi intravenus
( i.v ) Disuntikkan langsung ke dalam pembuluh darah vena.
Bentuknya berupa larutan, sedangkan bentuk suspensi atau emulsi tidak boleh,
sebab akan menyumbat pembuluh darah vena tersebut. Dibuat isitonis, kalau
terpaksa dapat sedikit hipertonis (disuntikkannya lambat / perlahan-lahan dan
tidak mempengaruhi sel darah); volume antara 1 - 10 ml. Injeksi intravenus yang
diberikan dalam dosis tunggal dengan volume lebih dari 10 ml, disebut
"infus intravena/ Infusi/Infundabilia". Infusi harus bebas pirogen
dan tidak boleh mengandung bakterisida, jernih, isotonis. Injeksi i.v dengan volume 15 ml atau lebih
tidak boleh mengandung bakterisida Injeksi i.v dengan volume 10 ml atau lebih
harus bebas pirogen.
5. Injeksi
intraarterium ( i.a ) Disuntikkan ke dalam pembuluh darah
arteri / perifer / tepi, volume antara 1 - 10 ml, tidak boleh mengandung
bakterisida.
6. Injeksi intrakor /
intrakardial ( i.kd ) Disuntikkan langsung ke dalam otot
jantung atau ventriculus, tidak boleh mengandung bakterisida, disuntikkan hanya
dalam keadaan gawat.
7. Injeksi intratekal
(i.t), intraspinal, intrasisternal (i.s), intradural ( i.d
), subaraknoid. Disuntikkan langsung ke dalam saluran sumsum tulang belakang
pada dasar otak ( antara 3 -4 atau 5 - 6 lumbra vertebrata ) yang ada cairan
cerebrospinalnya. Larutan harus isotonis karena sirkulasi cairan cerebrospinal
adalah lambat, meskipun larutan anestetika sumsum tulang belakang sering
hipertonis. Jaringan syaraf di daerah anatomi disini sangat peka.
8. Intraartikulus Disuntikkan
ke dalam cairan sendi di dalam rongga sendi. Bentuk suspensi / larutan dalam
air.
9. Injeksi
subkonjuntiva Disuntikkan ke dalam selaput lendir di
bawah mata. Berupa suspensi / larutan, tidak lebih dari 1 ml.
10. Injeksi intrabursa
Disuntikkan ke dalam bursa subcromillis atau bursa olecranon dalam bentuk
larutan suspensi dalam air.
11. Injeksi
intraperitoneal ( i.p ) Disuntikkan langsung ke dalam rongga
perut. Penyerapan cepat ; bahaya infeksi besar
12. Injeksi peridural
( p.d ), extradural, epidural Disuntikkan ke dalam ruang
epidural, terletak diatas durameter, lapisan penutup terluar dari otak dan
sumsum tulang belakang.
C.
Keuntungan
dan Kekurangan Sediaan Injeksi
Keuntungan :
1. Bekerja cepat , misalnya pada injeksi Adrenalin pada schock
anfilaksis.
2. Dapat digunakan jika : obat rusak jika kena cairan lambung,
merangsang jika ke cairan lambung, tidak diabsorpsi secara baik oleh cairan
lambung.
3. Kemurnian dan takaran zat khasiat lebih terjamin
4. Dapat digunakan sebagai depo terapi
Kerugian :
1. Karena bekerja cepat, jika terjadi kekeliruan sukar dilakukan
pencegahan.
2. Cara pemberian lebih sukar, harus memakai tenaga khusus.
3. Kemungkinan terjadinya infeksi pada bekas suntikan.
4. Secara ekonomis lebih mahal dibanding dengan sediaan yang
digunakan per oral.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Preformulasi
1. Zat Aktif
Pemerian : Serbuk hablur putih ; tidak berbau ; rasa pahit.
Kelarutan : Larut dalam 4 bagian air , dalam 10 bagian
etanol (95%) P dan dalam 10 bagian kloroform P ; sukar larut dalam
eter P.
Sterilisasi : Pemanasan 98o – 100oC
PH : 4,0-5,2
Khasiat : Antihistamin
Anti histamin : zat zat yang dapat
mengurangi atau menghalangi efek
histamin terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor-histamin (penghambatan
saingan). Kloramfenikol termasuk tipe 1 H1 Blockers (antihistaminika klasik)
dan termasuk obat generasi ke 1 yang berkhasiat sedatif terhadap SSP dan
kebanyakan memiliki efek antikolinergis. Klorfeniramin termasuk derivat
propilamin yang mana memiliki daya kerja antihitaminika yang kuat. Dan
klorfeniramin dengan daya kerja 10 kali lebih kuat dan dengan derajat
toksisitas yang sama. Memiliki Efek samping sedatif ringan dan sering kali
digunakan dalam obat batuk.
Dosis : Dosis maksimum sehari 40mg.
Literatur :
- FI Edisi III Hal 153
- Martindale hal 1300
- Wattimena hal 160
-OOP Edisi Ke enam Cetakan
Ke 3 Bab Antihistaminika Halaman 819.
2.
Zat
Pembawa
Benzyl Alkohol
Pemerian : Cairan ; tidak berwarna ; hampir tidak
berbau ; rasa tajam dan membakar.
Kelarutan : larut dalam 25 bagian air ; dapat campur
dengan etanol (95%) P, dengan kloroform dan dengan eter P.
Sterilisasi : Otoklaf
pH : 5-8
Khasiat : Antiseptikum
Antiseptikum adalah senyawa kimia yang digunakan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme padajaringan yang hidup seperti pada permukaan kulit dan membran mukosa. Benzy Alkohol selain berkhasiat sebagai antiseptik juga
berkhasiat sebagai anestetik dan anti gatal lema. Bekerja optimal dalam
lingkungan asam. Obat ini tidak merangsang dan tidak toksi
Literatur :- FI Edisi III hal 113
Literatur :- FI Edisi III hal 113
- Excipient hal 35
- OOP Edisi Ke Enam Cetakan Ketiga
halaman413
Natrium
Chorida
Natrium chloride mengandung tidak kurang dari
99,00% dan tidak lebih dari 101,00% NaCl dihitung terhadap zat yang telah
dikeringkan tidak mengandung zat tambahan.
Pemerian :
Hablur bentuk kubus, tidak berwarna atau serbuk hablur putih, rasa asin.
Kelarutan :
Mudah larut dalam air, sedikit lebih mudah larut dalam air mendidih, larut dalam glyserin, sukar larut dalam
etanol.
Sterilisasi : Autoklaf 121°C 15 menit
Penggunaan :
Pengisotonis dalam intravena atau ophthalmic solutions (diatas 0,9%)
Literatur : - FI IV hal 584
Literatur : - FI IV hal 584
- Pharmaceutical Excipient hal. 267
Aqua p.i bebas CO2
Air steril untuk injeksi adalah air untuk injeksi yang disterilkan dan dikemas dengan cara yang sesuai. Tidak mengandung bahan antimikroba atau bahan tambahan lainnya.
Air untuk injeksi adalah air suling segar yang disuling kembali, disterilkan dengan cara sterilisasi A atau C. ( M. Anief ).
Pembuatan air suling segar menggunakan alat kaca netral atau wadah logam yang cocok yang dilengkapi dengan labu percik. Buang sulingan pertama, tampung sulingan berikutnya dalam wadah yang cocok. Sterilkan segera dengan cara sterilisasi otoklaf atau penyaring bakteri tanpa penambahan bakterisida. Untuk memperoleh air untuk injeksi bebas udara (bebas karbondioksida) didihkan sulingan selama tidak kurang 10 menit sambil mencegah sesempurna mungkin hubungan dengan udara, dinginkan, masukkan dalam wadah tertutup kedap, sterilkan segera dengan cara sterilisasi A.
Endotoksin bakteri tidak boleh lebih dari 0,25 unit Endotoksin FI per ml, menggunakan Endotoksin BPFI sebagai pembanding.
Air steril untuk injeksi adalah air untuk injeksi yang disterilkan dan dikemas dengan cara yang sesuai. Tidak mengandung bahan antimikroba atau bahan tambahan lainnya.
Air untuk injeksi adalah air suling segar yang disuling kembali, disterilkan dengan cara sterilisasi A atau C. ( M. Anief ).
Pembuatan air suling segar menggunakan alat kaca netral atau wadah logam yang cocok yang dilengkapi dengan labu percik. Buang sulingan pertama, tampung sulingan berikutnya dalam wadah yang cocok. Sterilkan segera dengan cara sterilisasi otoklaf atau penyaring bakteri tanpa penambahan bakterisida. Untuk memperoleh air untuk injeksi bebas udara (bebas karbondioksida) didihkan sulingan selama tidak kurang 10 menit sambil mencegah sesempurna mungkin hubungan dengan udara, dinginkan, masukkan dalam wadah tertutup kedap, sterilkan segera dengan cara sterilisasi A.
Endotoksin bakteri tidak boleh lebih dari 0,25 unit Endotoksin FI per ml, menggunakan Endotoksin BPFI sebagai pembanding.
Pemerian : Cairan, jernih, tidak berwarna ; tidak berbau.
Kegunaan : Sebagai zat pembawa
Sterilisasi : Didihkan selama 30 menit
Literatur : - Farmakope
Indonesia Edisi IV, hal. 112
- Dasar –
dasar dan Resep – resep Pembuatan Obat Suntik, hal 12
B. Pendekatan Preformulasi
NamaZat
|
Kelarutan
|
pH
|
Cara Sterilisasi
|
Literatur
|
Chlorpeniramini Maleas
|
Mudah larut dalam air; larut dalam etanol dan dalam kloroform; sukar larut dalam eter dan benzene
|
4-5
|
Pemanasan 98-100o C,
30 menit penyaring bakteri
|
FI IV hal 210
Martindale The Extar Pharmacpoeia 28 hal 1300
Waimena hal 160
|
Benzyl alcohol
|
Agak sukar larut dalam air; Mudah larut dalam etanol 50%; bercampur dengan etanol, dengan eter dan dengan kloroform
|
5-6
|
Pemanasan 100o C,
30 menit
|
FI IV hal 71
Exicipient hal 35
Martindale hal 39
|
Aqua p.i.
|
Dapat dicampur dan larut
dengan pelarut yang polar dan
elektrolit
|
5-7
|
Didihkan 10 menit
|
FI III Hal 97
Handbook of pharmaceutical excipient hal 37
|
C. Formulasi
Injeksi
Chlorpeniramini Maleas (Fornas hal 69, Martindale 28 hal 1300)
tiap
ml mengandung :
R/ Chlorpheniramini maleas 10 mg
R/ Chlorpheniramini maleas 10 mg
Benzyl alkohol 1%
Aqua p.i. ad
1 ml
Keterangan
:
·
Wadah : Vial 10 ml sebanyak 3 buah
Wadah bebas dari udara dengan gas
nitrogen dan hindari cahaya
·
Sterilisasi :
Otoklaf 1210C 15 menit
·
Etiket : Biru
·
Teknik : Na-Steril
·
pH : 4.0 – 5.2
KR :
OTT : Hindari dari cahaya,zat aktif dapat rusak jika terkena cahaya
Usul :
1. Wadah (vial dianggap steril dan berwarna coklat karena zat aktif akan rusak jika terkena cahaya.
2. Alat-alat gelas (Erlenmeyer,beaker glass) dianggap steril.
3. Bahan obat (Chlorpheniramin maleas dan benzyl alcohol) dianggap steril
OTT : Hindari dari cahaya,zat aktif dapat rusak jika terkena cahaya
Usul :
1. Wadah (vial dianggap steril dan berwarna coklat karena zat aktif akan rusak jika terkena cahaya.
2. Alat-alat gelas (Erlenmeyer,beaker glass) dianggap steril.
3. Bahan obat (Chlorpheniramin maleas dan benzyl alcohol) dianggap steril
II.
Perhitungan
Volume
vial yang akan dibuat sebanyak 2 @10 ml
= ( 2 x 10.5 ) + (
2 x 3 )
= 21 + 6
= 27 ml ~ 30 ml
·
Chlorpheniramini
Maleas = (10 mg)/(1 ml) x 30 ml =
300 mg
·
Benzilalcohol = 1/100 x 30 ml =
0,3 g
Sediaan 10 % = 0,3g/( 10 g) x 100 ml =
3 ml
·
NaCl = (0,52-(10,094 X 1 )+(0,098x1))/0,576 = 0,5694g/ml
Untuk 30 ml = (30 ml)/(100 ml)x 0,5694 g/ml = 0,1708 g
·
Aqua pro
injection ad 30 ml
III.
Penimbangan
Chlorpheniramini
Maleas = 300 mg
Benzylalcoholum = 3 ml
NaCl = 0.1708 g
Aqua p.i ad 30 ml
IV.
Cara Kerja
1. Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan
lalu sterilkan
Alat
: -Spatula - Corong -
Karet Pipet
-Batang
Pengaduk - Erlenmeyer - Tutup Vial
-Kaca
Arloji - Gelas Ukur - Pipet tetes
-Kertas
Saring - Beaker Glass - Pinset
-Alumunium
Foil - Vial
2. Timbang
Bahan Obat
i.
Chlorpheniramini
Maleas = 300 mg
ii.
Benzylalcoholum = 3 ml
iii.
NaCl = 0,1708 g
iv.
Aqua p.i ad
30 ml
3. Kalibrasi beaker glass 30 ml
4. Kalibrasi Vial 10 ml
5. Larutkan CTM dengan aqua p.i qs +
benzyl alkohol 3 ml ad larut
6. Aduk ad larut + NaCl + aqua p.i ad
30 ml, cek pH. Saring sebanyak 2x
7. Saring larutan obat lalu masukan
kedalam vial yang telah dikalibrasi
8. Tutup dengan tutup karet, tutup
dengan alumunium kemudian dijepitkan dengan pinset agar tidak mudah lepas
9. Vial yang telah ditutup, diletakkan
kedalam beaker glass, sterilisasi di
otoklaf 121C selama 15 menit
10. Beri etiket, masukkan kedalam dus bersama
brosur
D.
Sterilisasi Alat dan Bahan
AlatdanBahan
|
Cara
Sterilisasi
|
Literatur
|
Waktu
|
|||
Mulai
|
paraf
|
selesai
|
paraf
|
|||
Kaca arloji, pinset, spatula, batang pengaduk
|
Flambir 20 detik
|
Wattimena 45
|
||||
Vial, beaker glass
|
Oven 170o C selama 30 menit
|
Wattimena 39, 49, 139
|
||||
Gelas ukur, pipet, corong, kertas
saring
|
Autoklaf 120o C selama 15 menit
|
Wattimena 72, 77
|
||||
Karet pipet
|
Rebus 30 menit
|
Wattimena 31
|
||||
Aqua p.i
|
Autoklaf
|
Wattimena 12
|
||||
Larutan obat
|
Autoklaf 121o C 15’
|
FI IV hal 112
|
E.
Evaluasi Hasil Sediaan
pH yang didapat dari injeksi
Chlorpheniramini Maleas adalah 5,0
Pada
evaluasi sediaan injeksi ini yang dilakukan adalah :
1.
Warna
: Pada injeksi CTM ini tidak terjadi
perubahan warna pada sediaan setelah
disimpan tetap dalam keadaan bening atau tidak berwarna
2.
PH
: Injeksi CTM ini mempunyai pH 5 yang telah memenuhi syarat Dengan range
4-5
3.
Kejernihan
larutan : Injeksi CTM yang dibuat cukup
jernih dan bebas dari kotoran
4.
Evaluasi
wadah : Wadah yang digunakan cukup
rapat dan dalam keadaan baik tidak mengalami kebocoran
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pada praktikum kali ini kami membuat
injeksi Chlorpheniramini Maleas , pembuatan sediaan injeksi ini dibuat dengan
metode sterilisasi Na steril yaitu cara kerja yang dilakukan
dengan penyeterilan dilakukan di akhir proses pencampuran, metode ini
didasarkan pada kestabilan zat aktif yang tahan terhadap pemanasan. Dalam
pembuatan injeksi ini alat-alat yang digunakan dicuci dengan bersih terlebih
dahulu dan kemudian disterilkan terkecuali bahan obat dianggap sudah steril,
dalam pembuatan injeksi ini PH juga harus diperhatikan agar tetap dalam rentang
kestabilan bahan. Injeksi tidak boleh mengandung partikulat atau kotoran
sehingga sebelum dimasukan kedalam wadah vial, sediaan harus terlebih dahulu
disaring sebanyak 2x.
Pada injeksi yang dibuat sedapat mungkin harus
isotonis dengan cairan tubuh ataupun hipertonis dalam keadaan tertentu.
Perlunya injeksi ini dibuat isotonis ataupun hipertonis agar pada saat
penyuntikan tidak menimbulkan rasa nyeri dan tidak
merusak jaringan tubuh atau memecahkan pembuluh darah maka ditambahakan NaCl.
Tetapi dalam buku Pedoman yaitu Martindle ed 30 hal 1300 bisa ditambahkan
pengisotonis dan bisa juga tidak ditambahkan pengisotonis.
Evaluasi sediaan yang dapat kami lakukan setelah
injeksi selesai dibuat adalah evaluasi penampilan sediaan injeksi ynag
dihasilkan larutan bening, hal ini terjadi karena CTM ini tidak terjadi reaksi
dan stabil pada saat penyimpanan dan injeksi CTM memiliki pH 5,0.
F.
Desain Kemasan, Etiket dan Brosur
Dus
Etiket Obat
Brosur Obat
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen
Kesehatan RI, 1979. Farmakope Indonesia, edisi III, Jakarta.
2. Departemen
kesehatan RI, 1995. Farmakope Indonesia, edisi IV, Jakarta.Indonesia
3. Martindale,
The Extra Pharmacopeia Twenty-eight Edition. The Parmaceutical Press, London.
1982.
4. Wattimena
edisi II. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
5. Anonim.Penuntun Praktikum Farmasetika I.2011
6. http://www.academia.com/2014/03/tekhnologi-sediaan-steril-injeksi.html
Link Download File dibawah ini