Sabtu, 12 Mei 2018

Laporan Injeksi Atropin Sulfat / Injeksi Chlorpheniramin Maleas

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI SEDIAN STERIL
Injeksi Chlorpheniramin Maleas


Disusun oleh :
·        Diantika Putri       (P23139014024)
·        Fajar Riadi            (P231390140  )
·        Fatin Nursalam     (P23139014029)

Tingkat 2A
Semester 3

Dosen pengawas :
Dra Gloria Murtini T, M.Si., Apt




POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN JAKARTA II JURUSAN FARMASI
Jl. Percetakan Negara No.23 Jakarta Pusat
2016

                                                                                                                               

KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan praktikum berjudul “Injeksi Chlorampeniramin Maleas” ini dalam waktu yang telah ditentukan.
Dalam penyusunan makalah ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada Dra Gloria Murtini T, M.Si., Apt. selaku Pengawas Mata Kuliah Teknologi Sediaan Steril dan pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini.
            Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran kepada pembaca agar laporan ini menjadi lebih baik. Semoga ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
           




Jakarta, Oktober 2016



Penyusun


DAFTAR ISI


Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.      Penggolongan 
2.      Macam-macam Cara Penyuntikan
3.      Keuntungan
4.      Kerugian 
BAB II. PEMBAHASA
1.      Preformulasi
2.      Pendekatan formulasi
3.      Formulasi
4.      Perhitungan
5.      Penimbangan
6.      Cara Kerja
7.      Evaluasi
8.      Kemasan&etiket
9.      DaftarPustaka 




BAB I
PENDAHULUAN

A.   Pengertian
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau melalui selaput lendir.
Sedangkan menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, injeksi adalah injeksi yang dikemas dalam wadah 100 mL atau kurang. Tujuan obat dibuat steril (seperti injeksi) karena berhubungan langsung dengan darah atau cairan tubuh dan jaringan tubuh lain dimana pertahanan terhadap zat asing tidak selengkap yang berada di saluran cerna/gastrointestinal, misalnya hati yang dapat berfungsi untuk menetralisir / menawarkan racun(detoksikasi=detoksifikasi).
Injeksi vial adalah salah satu bentuk sediaan steril yang umumnya digunakan pada dosis ganda dan memiliki kapasitas atau volume 0,5 mL – 100 mL. Injeksi vial pun dapat berupa takaran tunggal atau ganda dimana digunakan untuk mewadahi serbuk bahan obat, larutan atau suspensi dengan volume sebanyak 5 mL atau pun lebih.
Injeksi klorfeniramini maleat mengandung klorfeniramini maleat C₁₆H₁₉ClN.CHO tidak kurang dari 90,0 % dan tidak lebih 110,0 % dari jumlah yang tertera pada etiket.

Dalam FI.ed.IV, sediaan steril untuk kegunaan parenteral digolongkan menjadi 5 jenis yang berbeda :
1.   Sediaan berupa larutan dalam air/minyak/pelarut organik yang lain yang digunakan untuk injeksi, ditandai dengan nama, Injeksi................
Dalam FI.ed.III disebut berupa Larutan. Misalnya : Inj. Vit.C, pelarutnya aqua pro injection Inj. Camphor oil , pelarutnya Olea neutralisata ad injection Inj. Luminal, pelarutnya Sol Petit atau propilenglikol dan air

2.      Sediaan padat kering (untuk dilarutkan) atau cairan pekat tidak mengandung dapar, pengencer atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah penambahan pelarut yang sesuai memenuhi persyaratan injeksi, ditandai dengan nama , ...................Steril.
Dalam FI.ed..III disebut berupa zat padat kering jika akan disuntikkan ditambah zat pembawa yang cocok dan steril, hasilnya merupakan larutan yang memenuhi syarat larutan injeksi. Misalnya: Inj. Dihydrostreptomycin Sulfat steril

3.     Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk larutan yang memenuhi persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan bahan pembawa yang sesuai, ditandai dengan nama , ............ Steril untuk Suspensi.
Dalam FI.ed.III disebut berupa zat padat kering jika akan disuntikkan ditambah zat pembawa yang cocok dan steril, hasilnya merupakan suspensi yang memenuhi syarat suspensi steril. Misalnya : Inj. Procaine Penicilline G steril untuk suspensi.

4.      Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak disuntikkan secara intravena atau ke dalam saluran spinal, ditandai dengan nama , Suspensi.......... Steril.
Dalam FI.ed.III disebut Suspensi steril ( zat padat yang telah disuspensikan dalam pembawa yang cocok dan steril) . Misalnya : Inj. Suspensi Hydrocortisone Acetat steril
5.      Sediaan berupa emulsi, mengandung satu atau lebih dapar, pengencer atau bahan tambahan lain, ditandai dengan nama, ............. Untuk Injeksi.

Dalam FI.ed.III disebut bahan obat dalam pembawa cair yang cocok, hasilnya merupakan emulsi yang memenuhi semua persyaratan emulsi steril. Misalnya : Inj. Penicilline Oil untuk injeksi

Menurut Prinsip Kerjanya, sediaan injeksi steril dapat dibuat dengan 2 cara, yaitu :
1.  Na-Steril (sterilisasi akhir), yaitu Cara kerja yang dilakukan dengan penyeterilan dilakukan di akhir proses pencampuran. Hal ini biasa dilakukan pada bahan obat yang tahan pemanasan. Alat yang digunakan dicuci bersih dan bahan obat baru disterilkan pada akhir proses pembuatan dengan wadah yang sudah tertutup rapat dan siap dikemas
2.     Aseptis yaitu Cara kerja yang dilakukan untuk mencegah sedapat mungkin agar mikroba tidak masuk. Dalam hal ini mikroba tidak dimusnahkan. Cara kerja ini digunakan untuk obat-obatan yang sama sekali tidak tahan pemanasan. Semua alat yang digunakan dalam prinsip ini harus steril, obat yang dapat disterilkan harus disterilkan lebih dahulu. Ruang kerja yang digunakan harus bersih (steril), sedapat mungkin pekerja menggunakan pakaian steril karena kemungkinan paling banyak mengkontaminasi terletak pada pekerja, terutama tangan dan nafasnya.

Dalam hal ini, Inj. CTM dibuat dengan cara Na-Steril, karena bahan obat yang digunakan tahan terhadap pemanasan.
B.    Macam – macam Cara Penyuntikan
1.  Injeksi intrakutan ( i.k / i.c ) atau intradermal Dimasukkan ke dalam kulit yang sebenarnya, digunakan untuk diagnosa. Volume yang disuntikkan antara 0,1 - 0,2 ml, berupa larutan atau suspensi dalam air.
2.    Injeksi subkutan ( s.k / s.c ) atau hipodermik Disuntikkan ke dalam jaringan di bawah kulit ke dalam alveolar, volume yang disuntikkan tidak lebih dari 1 ml. Umumnya larutan bersifat isotonik, pH netral, bersifat depo (absorpsinya lambat). Dapat diberikan dalam jumlah besar (volume 3 - 4 liter/hari dengan penambahan enzym hialuronidase), bila pasien tersebut tidak dapat diberikan infus intravena. Cara ini disebut" Hipodermoklisa ".
3.      Injeksi intramuskuler ( i.m ) Disuntikkan ke dalam atau diantara lapisan jaringan / otot. Injeksi dalam bentuk larutan, suspensi atau emulsi dapat diberikan secara ini. Yang berupa larutan dapat diserap dengan cepat, yang berupa emulsi atau suspensi diserap lambat dengan maksud untuk mendapatkan efek yang lama. Volume penyuntikan antra 4 - 20 ml, disuntikkan perlahan-lahan untuk mencegah rasa sakit.
4.  Injeksi intravenus ( i.v ) Disuntikkan langsung ke dalam pembuluh darah vena. Bentuknya berupa larutan, sedangkan bentuk suspensi atau emulsi tidak boleh, sebab akan menyumbat pembuluh darah vena tersebut. Dibuat isitonis, kalau terpaksa dapat sedikit hipertonis (disuntikkannya lambat / perlahan-lahan dan tidak mempengaruhi sel darah); volume antara 1 - 10 ml. Injeksi intravenus yang diberikan dalam dosis tunggal dengan volume lebih dari 10 ml, disebut "infus intravena/ Infusi/Infundabilia". Infusi harus bebas pirogen dan tidak boleh mengandung bakterisida, jernih, isotonis.  Injeksi i.v dengan volume 15 ml atau lebih tidak boleh mengandung bakterisida Injeksi i.v dengan volume 10 ml atau lebih harus bebas pirogen.
5.      Injeksi intraarterium ( i.a ) Disuntikkan ke dalam pembuluh darah arteri / perifer / tepi, volume antara 1 - 10 ml, tidak boleh mengandung bakterisida.
6.     Injeksi intrakor / intrakardial ( i.kd ) Disuntikkan langsung ke dalam otot jantung atau ventriculus, tidak boleh mengandung bakterisida, disuntikkan hanya dalam keadaan gawat.
7.  Injeksi intratekal (i.t), intraspinal, intrasisternal (i.s), intradural ( i.d ), subaraknoid. Disuntikkan langsung ke dalam saluran sumsum tulang belakang pada dasar otak ( antara 3 -4 atau 5 - 6 lumbra vertebrata ) yang ada cairan cerebrospinalnya. Larutan harus isotonis karena sirkulasi cairan cerebrospinal adalah lambat, meskipun larutan anestetika sumsum tulang belakang sering hipertonis. Jaringan syaraf di daerah anatomi disini sangat peka.
8.  Intraartikulus Disuntikkan ke dalam cairan sendi di dalam rongga sendi. Bentuk suspensi / larutan dalam air.
9.  Injeksi subkonjuntiva Disuntikkan ke dalam selaput lendir di bawah mata. Berupa suspensi / larutan, tidak lebih dari 1 ml.
10.  Injeksi intrabursa Disuntikkan ke dalam bursa subcromillis atau bursa olecranon dalam bentuk larutan suspensi dalam air.
11.  Injeksi intraperitoneal ( i.p ) Disuntikkan langsung ke dalam rongga perut. Penyerapan cepat ; bahaya infeksi besar
12. Injeksi peridural ( p.d ), extradural, epidural Disuntikkan ke dalam ruang epidural, terletak diatas durameter, lapisan penutup terluar dari otak dan sumsum tulang belakang.

C.   Keuntungan dan Kekurangan Sediaan Injeksi
            Keuntungan :
1.      Bekerja cepat , misalnya pada injeksi Adrenalin pada schock anfilaksis.
2.      Dapat digunakan jika : obat rusak jika kena cairan lambung, merangsang jika ke cairan lambung, tidak diabsorpsi secara baik oleh cairan lambung.
3.      Kemurnian dan takaran zat khasiat lebih terjamin
4.      Dapat digunakan sebagai depo terapi

Kerugian :
1.     Karena bekerja cepat, jika terjadi kekeliruan sukar dilakukan pencegahan.
2.     Cara pemberian lebih sukar, harus memakai tenaga khusus.
3.     Kemungkinan terjadinya infeksi pada bekas suntikan.
4.     Secara ekonomis lebih mahal dibanding dengan sediaan yang digunakan per oral.

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Preformulasi
1.     Zat Aktif
Pemerian   : Serbuk hablur putih ; tidak berbau ; rasa pahit.
Kelarutan  : Larut dalam 4 bagian air , dalam 10 bagian etanol (95%) P   dan dalam  10 bagian kloroform P ; sukar larut dalam eter P.
Sterilisasi   : Pemanasan 98o – 100oC
PH             : 4,0-5,2
Khasiat      : Antihistamin
Anti histamin : zat zat yang dapat mengurangi atau   menghalangi efek histamin terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor-histamin (penghambatan saingan). Kloramfenikol termasuk tipe 1 H1 Blockers (antihistaminika klasik) dan termasuk obat generasi ke 1 yang berkhasiat sedatif terhadap SSP dan kebanyakan memiliki efek antikolinergis. Klorfeniramin termasuk derivat propilamin yang mana memiliki daya kerja antihitaminika yang kuat. Dan klorfeniramin dengan daya kerja 10 kali lebih kuat dan dengan derajat toksisitas yang sama. Memiliki Efek samping sedatif ringan dan sering kali digunakan dalam obat batuk.
      Dosis         : Dosis maksimum sehari 40mg.
                   Literatur      : - FI Edisi III Hal 153
                                         - Martindale hal 1300
                                         - Wattimena hal 160
 -OOP Edisi Ke enam Cetakan Ke 3 Bab Antihistaminika Halaman 819.


2.     Zat Pembawa
Benzyl Alkohol
Pemerian   : Cairan ; tidak berwarna ; hampir tidak berbau ; rasa tajam    dan membakar.
Kelarutan : larut dalam 25 bagian air ; dapat campur dengan etanol (95%) P, dengan kloroform dan dengan eter P.
Sterilisasi  : Otoklaf
pH                        : 5-8
Khasiat     : Antiseptikum
Antiseptikum adalah senyawa kimia yang digunakan  untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme padajaringan yang hidup seperti pada permukaan kulit dan membran mukosa. Benzy Alkohol selain berkhasiat sebagai antiseptik juga berkhasiat sebagai anestetik dan anti gatal lema. Bekerja optimal dalam lingkungan asam. Obat ini tidak merangsang dan tidak toksi 
 Literatur :-  FI Edisi III hal 113
    -  Excipient hal 35
     - OOP Edisi Ke Enam Cetakan Ketiga halaman413

Natrium Chorida
Natrium chloride mengandung tidak kurang dari 99,00% dan tidak lebih dari 101,00% NaCl dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan tidak mengandung zat tambahan.
Pemerian         : Hablur bentuk kubus, tidak berwarna atau serbuk hablur putih, rasa asin.
Kelarutan        : Mudah larut dalam air, sedikit lebih mudah larut dalam air mendidih,  larut dalam glyserin, sukar larut dalam etanol.
Sterilisasi         :  Autoklaf 121°C 15 menit
Penggunaan     : Pengisotonis dalam intravena atau ophthalmic solutions (diatas 0,9%) 
Literatur          : - FI IV hal 584
  -  Pharmaceutical Excipient hal. 267

Aqua p.i bebas CO2 
Air steril untuk injeksi adalah air untuk injeksi yang disterilkan dan dikemas dengan cara yang sesuai. Tidak mengandung bahan antimikroba atau bahan tambahan lainnya.
Air untuk injeksi adalah air suling segar yang disuling kembali, disterilkan dengan cara sterilisasi A atau C. ( M. Anief ).
Pembuatan air suling segar menggunakan alat kaca netral atau wadah logam yang cocok yang dilengkapi dengan labu percik. Buang sulingan pertama, tampung sulingan berikutnya dalam wadah yang cocok. Sterilkan segera dengan cara sterilisasi otoklaf atau penyaring bakteri tanpa penambahan bakterisida. Untuk memperoleh air untuk injeksi bebas udara (bebas karbondioksida) didihkan sulingan selama tidak kurang 10 menit sambil mencegah sesempurna mungkin hubungan dengan udara, dinginkan, masukkan dalam wadah tertutup kedap, sterilkan segera dengan cara sterilisasi A.
Endotoksin bakteri tidak boleh lebih dari 0,25 unit Endotoksin FI per ml, menggunakan Endotoksin BPFI sebagai pembanding.
Pemerian               : Cairan, jernih, tidak berwarna ; tidak berbau.
Kegunaan              : Sebagai zat pembawa 
Sterilisasi               : Didihkan selama 30 menit
Literatur                : -  Farmakope Indonesia Edisi IV, hal. 112
  - Dasar – dasar dan Resep – resep Pembuatan Obat Suntik, hal 12


B.    Pendekatan Preformulasi
NamaZat
Kelarutan
pH
Cara Sterilisasi
Literatur
Chlorpeniramini Maleas
Mudah larut dalam air; larut dalam etanol dan dalam kloroform; sukar larut dalam eter dan benzene
4-5
Pemanasan 98-100o C, 30 menit penyaring bakteri
FI IV hal 210
Martindale The Extar Pharmacpoeia 28 hal 1300
Waimena hal 160
Benzyl alcohol
Agak sukar larut dalam air; Mudah larut dalam etanol 50%; bercampur dengan etanol, dengan eter dan dengan kloroform
5-6
Pemanasan 100o C, 30 menit
FI IV hal 71
Exicipient hal 35
Martindale hal 39
Aqua p.i.
Dapat dicampur dan larut dengan pelarut yang polar dan      elektrolit
5-7
Didihkan 10 menit
FI III Hal 97
Handbook of pharmaceutical excipient hal 37
           

C.   Formulasi
Injeksi Chlorpeniramini Maleas (Fornas hal 69, Martindale 28 hal 1300)
tiap ml mengandung :

R/ Chlorpheniramini maleas   10 mg
Benzyl alkohol                        1%
Aqua p.i.                                 ad 1 ml

Keterangan :
·         Wadah                   : Vial 10 ml sebanyak 3 buah
Wadah bebas dari udara dengan gas nitrogen dan hindari cahaya
·         Sterilisasi               : Otoklaf 1210C 15 menit
·         Etiket                    : Biru
·         Teknik                   : Na-Steril
·         pH                         : 4.0 – 5.2

        KR                   :

        OTT                 :  Hindari dari cahaya,zat aktif dapat rusak jika terkena cahaya


        Usul    
            : 
1.      Wadah (vial dianggap steril dan berwarna coklat karena zat aktif akan rusak jika terkena cahaya. 
2.      Alat-alat gelas (Erlenmeyer,beaker glass) dianggap steril. 
3.      Bahan obat (Chlorpheniramin maleas dan benzyl alcohol) dianggap steril

   II.            Perhitungan
Volume vial yang akan dibuat sebanyak 2 @10 ml

V         = ( n x v’ ) + ( 2 x 3 )
= ( 2 x 10.5 ) + ( 2 x 3 )
= 21 + 6
= 27 ml ~ 30 ml

·         Chlorpheniramini Maleas       = (10 mg)/(1 ml) x 30 ml          = 300 mg
·         Benzilalcohol                          =  1/100 x 30 ml             = 0,3 g
Sediaan 10 %                          = 0,3g/( 10 g) x 100 ml           = 3 ml

·         NaCl                =   (0,52-(10,094 X 1 )+(0,098x1))/0,576    = 0,5694g/ml
Untuk 30 ml    = (30 ml)/(100 ml)x 0,5694 g/ml = 0,1708 g
·         Aqua pro injection   ad  30 ml

 III.            Penimbangan
Chlorpheniramini Maleas       = 300 mg
Benzylalcoholum                    = 3 ml
NaCl                                        = 0.1708 g
Aqua p.i                                  ad 30 ml

IV.            Cara Kerja
1.       Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan lalu sterilkan
Alat :         -Spatula                       - Corong                      - Karet Pipet
-Batang Pengaduk       - Erlenmeyer                - Tutup Vial
-Kaca Arloji                 - Gelas Ukur               - Pipet tetes
-Kertas Saring              - Beaker Glass             - Pinset
-Alumunium Foil         - Vial
2.      Timbang Bahan Obat
                                                              i.      Chlorpheniramini Maleas       = 300 mg
                                                            ii.      Benzylalcoholum                    = 3 ml
                                                          iii.      NaCl                                        = 0,1708 g
                                                          iv.      Aqua p.i                                  ad 30 ml
3.      Kalibrasi beaker glass 30 ml
4.      Kalibrasi Vial 10 ml
5.      Larutkan CTM dengan aqua p.i qs + benzyl alkohol 3 ml ad larut
6.      Aduk ad larut + NaCl + aqua p.i ad 30 ml, cek pH. Saring sebanyak 2x
7.      Saring larutan obat lalu masukan kedalam vial yang telah dikalibrasi
8.      Tutup dengan tutup karet, tutup dengan alumunium kemudian dijepitkan dengan pinset agar tidak mudah lepas
9.      Vial yang telah ditutup, diletakkan kedalam beaker glass, sterilisasi  di otoklaf 121C selama 15 menit
10.   Beri etiket, masukkan kedalam dus bersama brosur

D.   Sterilisasi Alat dan Bahan
AlatdanBahan
Cara Sterilisasi
Literatur
Waktu
Mulai
paraf
selesai
paraf
Kaca arloji, pinset, spatula, batang pengaduk
Flambir 20 detik
Wattimena 45




Vial, beaker glass
Oven 170o C selama 30 menit
Wattimena 39, 49, 139




Gelas ukur, pipet, corong, kertas saring
Autoklaf 120o C selama 15 menit
Wattimena 72, 77




Karet pipet
Rebus 30 menit
Wattimena 31




Aqua p.i
Autoklaf
Wattimena 12




Larutan obat
Autoklaf 121o C 15’
FI IV hal 112






E.    Evaluasi Hasil Sediaan
pH yang didapat dari injeksi Chlorpheniramini Maleas adalah 5,0


 











Pada evaluasi sediaan injeksi ini yang dilakukan adalah :
1.      Warna       : Pada injeksi CTM ini tidak terjadi perubahan warna pada  sediaan setelah disimpan tetap dalam keadaan bening atau tidak berwarna
2.      PH               : Injeksi CTM ini mempunyai pH 5 yang telah memenuhi syarat Dengan range 4-5
3.      Kejernihan larutan : Injeksi CTM yang dibuat cukup jernih dan bebas dari kotoran
4.      Evaluasi wadah     : Wadah yang digunakan cukup rapat dan dalam keadaan baik tidak mengalami kebocoran



BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Pada praktikum kali ini kami membuat injeksi Chlorpheniramini Maleas , pembuatan sediaan injeksi ini dibuat dengan metode sterilisasi Na steril yaitu cara kerja yang dilakukan dengan penyeterilan dilakukan di akhir proses pencampuran, metode ini didasarkan pada kestabilan zat aktif yang tahan terhadap pemanasan. Dalam pembuatan injeksi ini alat-alat yang digunakan dicuci dengan bersih terlebih dahulu dan kemudian disterilkan terkecuali bahan obat dianggap sudah steril, dalam pembuatan injeksi ini PH juga harus diperhatikan agar tetap dalam rentang kestabilan bahan. Injeksi tidak boleh mengandung partikulat atau kotoran sehingga sebelum dimasukan kedalam wadah vial, sediaan harus terlebih dahulu disaring sebanyak 2x.
Pada injeksi yang dibuat sedapat mungkin harus isotonis dengan cairan tubuh ataupun hipertonis dalam keadaan tertentu. Perlunya injeksi ini dibuat isotonis ataupun hipertonis agar pada saat penyuntikan tidak menimbulkan rasa nyeri dan tidak merusak jaringan tubuh atau memecahkan pembuluh darah maka ditambahakan NaCl. Tetapi dalam buku Pedoman yaitu Martindle ed 30 hal 1300 bisa ditambahkan pengisotonis dan bisa juga tidak ditambahkan pengisotonis.
Evaluasi sediaan yang dapat kami lakukan setelah injeksi selesai dibuat adalah evaluasi penampilan sediaan injeksi ynag dihasilkan larutan bening, hal ini terjadi karena CTM ini tidak terjadi reaksi dan stabil pada saat penyimpanan dan injeksi CTM memiliki pH 5,0.

 
F.    Desain Kemasan, Etiket dan Brosur
Dus

Etiket Obat
 
Brosur Obat



DAFTAR PUSTAKA


1.      Departemen Kesehatan RI, 1979. Farmakope Indonesia, edisi III, Jakarta.
2.      Departemen kesehatan RI, 1995. Farmakope Indonesia, edisi IV, Jakarta.Indonesia
3.      Martindale, The Extra Pharmacopeia Twenty-eight Edition. The Parmaceutical Press, London. 1982.
4.      Wattimena edisi II. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
5.      Anonim.Penuntun Praktikum Farmasetika I.2011
6.      http://www.academia.com/2014/03/tekhnologi-sediaan-steril-injeksi.html





 



Link Download File dibawah ini



Facebook

Follow Us

Diberdayakan oleh Blogger.