ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU KALAM
Sebagaimana kita bahas di atas, bahwa pada masa akhir
pemerintahan Khulafa al-Rasyidin muncul aliran kalam yang populer dengan nama
Khawarij, kemudian diikuti oleh Murji’ah, Qadariyah dan Jabariyah, Mu’tazilah
dan Asy’ariyah atau Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mari kita telisik satu persatu
sehingga kita dapat memahami pandangan-pandanan mereka dengan benar.
1. Aliran
Syi’ah
Syi’ah
adalah golongan yang menyanjung dan memuji Sayyidina Ali secara
berlebih-lebihan. Karena mereka beranggapan bahwa Ali yang lebih berhak menjadi
khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW, berdasarkan wasiatnya. Sedangkan khalifah-khalifah
seperti Abu Bakar As Shiddiq, Umar Bin Khattab dan Utsman Bin Affan dianggap
sebagai penggasab atau perampas khilafah.
Sebagaimana
dimaklumi bahwa mulai timbulnya fitnah di kalangan ummat Islam biang keladinya
adalah Abdullah Bin Saba’, seorang
Yahudi yang pura-pura masuk Islam. Pitnah tereebut cukup berhasil, dengan
terpecah-belahnya persatuan ummat, dan timbullah Syi’ah sebagai firqoh.
Sebenarnya
Syi’ah bermula dari perjuangan politik yaitu khilafah, kemudian berkembang
menjadi agama. Adapun dasar pokok Syi’ah ialah tentang Khalifah, atau
sebagaimana mereka menamakannya Imam. Maka Sayyidina Ali adalah iman sesudah
Nabi Muhammad SAW. Kemudian sambung-bersambung Imam itu menurut urutan dari
Allah. Beriman kepada imam, dan taat kepadanya merupakan sebagian dari iman.
Iman menurut pandangan Syi’ah bukan seperi. pandangan Golongan Ahlus Sunnah.
Menurut golongan Ahlus Sunnah, khalifah atau imam adalah wakil pembawa syari’at
(Nabi) dalam menjaga agama. Dia mendorong manusia untuk beramal apa yang
diperintahkan Allah. Dia adalah pemimpin kekuasaan peradilan, pemerintahan dan
peperangan. Akan tetapi baginya tidak ada kekuasaan di bidang syari’at, kecuali
menafsirkan sesuatu atau berijtihad tentang sesuatu yang tidak ada nashnya.
Adapun
menurut golongan Syi’ah, imam itu mempunyai pengertian yang lain, dia adalah
guru yang paling besar. Imam pertama telah mewarisi macam-macam ilmu Nabi SAW.
Imam bukan manusia biasa, tetapi manusia luar biasa, karena dia ma’shum dari
berbuat salah. Di sini ada dua macam ilmu yang dimiliki imam yaitu; ilmu lahir
dan ilmu batin. Sungguh Nabi SAW telah mengajarkan Al-Qur’an dengan makna batin
dan makna lahir, mengajarkannya rahasia-rahasia alam dan masalah-masalah ghaib.
Tiap imam mewariskan perbendaharaan ilmu-ilmu kepada imam sesudahnya. Tiap imam
mengajar manusia pada waktunya sesuatu rahasia-rahasia (asrar) yang mereka mampu memahaminya. Oleh karena itulah imam
merupakan guru yang paling besar. Orang-orang Syi’ah tidak percaya kepada ilmu
dan hadits, kecuali yang diriwayatkan dari imam-imam golongan Syi’ah sendiri.
Apabila
berpadu pada kekuasaan khalifah urusan agama
dan politik. maka perselisihan antara
golongan Syi’ah dengan golongan-golongan lainnya adalah bercorak agama dan
politik. Inti ajaran Syi’ah adalah berkisar masalah khilafah. Jadi masalah
politik, yang akhirnya berkembang dan bercampur dengan masalah-masalah agama.
Ajaran-ajarannya. yang terpenting yang berkaitan dengan khilafah ialah Al’ Ishmah (orang yang terjaga dari dosa),
Al Mahdi (orang yang diberi petunjuk Allah), At Taqiyyah (orang yang berjiwa suci) dan Ar Raj’ah (orang yang harus menjadi rujukan dalam menentukan segala
hal).
Menurut
keyakinan golongan Syi’ah bahwa imam-imam mereka itu sebagaimana para nabi
adalah bersifat Al Ishmah atau ma’shum dalam segala tindak lakunya,
tidak pernah berbuat dosa besar maupun kecil, tidak ada tanda berlaku maksiat,
tidak boleh berbuat salah ataupun lupa. Hal itu didasarkan :
1.
Apabila
imam boleh berbuat salah, maka akan membutuhkan kepada imam lain untuk memberikan
petunjuk, demikian seterusnya. Oleh karena itu imam tidak boleh salah, dengan
perkataan lain hams ma’shum. Lawan-lawan golongan Syi’ah menolak ajaran
tersebut dengan alasan bahwa kebutuhan terhadap imam itu bukan karena
kemungkinan masyarakat berbuat salah, akan tetapi karena fungsi imam itu
sendiri sebagai pelaksana hukum, menolak kerusakan dan memelihara kesucian
agama. Tidak ada kebutuhan dalam tugas itu tentang ma’shumnya imam, tetapi
cukup dengan ijtihad dan berlaku adil.
2.
Imam
itu adalah pemelihara syari’at, oleh karena imam harus ma’shum. Kalau tidak
demikian maka niscaya membutuhkan pemelihara yang lain. Lawan-lawan mereka
menoiaknya dengan alasan bahwa imam itu bukan pemelihara syari’at, tetapi
sebagai pelaksana syari’at. Adapun pemelihara syari’at ialah para ulama.
Aliran-aliran
Syi’ah ada yang moderat dan ada yang radikal. Zaidiyah merupakan aliran yang
paling dekat Sunni, bahkan menolak faham Al-Mahdi dan Ar Raj’ah yang menjadi
keparcayaan umum aliran-aliran Syi’ah.
Syi’ah
Az Zaidiyah adalah pengikut Zaid Bin Ali Bin Husain Bin Ali Bin Abi Thalib.
Syi’ah Az Zaidiyah ini adalah firqoh Syi’ah yang paling dekat (tidak banyak
menyimpang) kepada Aldus Sunnah dan yang paling lurus. la tidak mengangkat
imam-imamnya sampai pada martabat kenabian, bahkan juga tidak mengangkatnya ke
martabat yang mendekatinya, tetapi mereka menganggap imam-imam seperti manusia
pada umumnya. Hanya saja mereka adalah seutama-utama orang sesudah Rasulullah
SAW. Mereka tidak mengkafirkan seorang pun di antara sahabat-sahabat Nabi dan
terutama orang (Abu Bakar, Umar dan Utsman, pen) yang dibai’at oleh Ali dan
mengakui keimanannya.
Aliran
Zaidiyyah menolak faham Al Mahdi : “Aliran Zaidiyyah adalah sebagian dari
aliran-aliran dalam Syi’ah, yang sangat terpengaruh oleh ajaran-ajaran
Mu’tazilah, karena Zaid pemimpin aliran Zaidiyyah ini pernah berguru kepada
Washil Bin Atho’, pemimpin Mu’tazilah. Mereka sangat mengingkari sekali
terhadap faham Al Mahdi dan Raj’ah, dan dalam kitab-kitabnya mereka
menolak hadits-hadits dan cerita-cerita yang berhubungan dengan hal tersebut.
Syi’ah
Ghaliyah atau Ashabu I-Ghulat,
golongan Syi’ah yang ajaran-ajarannya telah melampaui batas (ekstrim). Mereka
ada yang berpendapat bahwa imam-imam mereka mempunyai unsur-unsur ketuhanan.
Ada pula yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Kepercayaan tersebut
adalah pengaruh dari kepercayaan-kepercayaan inkarnasi, reinkamasi,
ajaran-ajaran Yahudi dan Kristen. Agama Yahudi menyerupakan Tuhan dengan
makhluk-Nya, sedangkan agama Kristen menyerupakan makhluk dengan Tuhannya.
Di
antara aliran-aliran Al Ghaliyah yang keterlaluan ialah As Saba’iyah, Al ‘Al’Alba’iyah dan Al Khattabiyah. Aliran As Sabai’yah adalah pengikut Abdullah Bin
Saba’, orang Yahudi dari Yaman, yang pura-pura masuk Islam. Aliran Saba’iyah
inilah yang pertama kali menyatakan ajaran tentang gaibnya imam, raj’ah,
menitis (hulul)-nya sifat ketuhanan kepada imam, dan berpindah (tanasukh)-nya
sifat ketuhanan dari seorang imam kepada imam berikutnya.
Aliran
Al Khattabiyah, pengikut Abil Khattab Muhammad Bin Abi Zainab Bani Asad.
Setelah dia meninggal, diganti Mu’amar
mempunyai ajaran-ajaran yang berlebih-lebihan. Mereka beranggapan bahwa dunia
itu tidak akan rusak. Sesungguhnya surga ialah keadaan yang manusia mendapatkan
kebaikan, kenikmatan dan kesehatan. Dan sesungguhnya neraka ialah keadaan yang
manusia mendapatkan keburukan, kesulitan dan bencana. Mereka menghalalkan
khamer, zina, dan semua hal yang diharamkan. Dan mereka selalu meninggalkan
shalat dan fardlu-fardlu lainnya.
2. Aliran
Khawarij
Khawarij
ini merupakan suatu aliran dalam kalam yang bermula dari sebuah kekuatan
politik. Dikatakan khawarij (orang-orang yang keluar) karena mereka keluar dari
barisan pasukan Ali saat mereka pulang dari perang Siffin, yang dimenangkan
oleh Mu’awiyah melalui tipu daya perdamaian. Gerakan exodus itu, mereka lakukan
karena tidak puas dengan sikap Ali menghentikan peperangan, padahal mereka
hampir memperoleh kemenangan. Sikap Ali menghentikan peperangan tersebut,
menurut mereka, merupakan suatu kesalahan besar karena Mu’awiyah adalah
pembangkang, sama halnya dengan Thalhah dan Zutair. Oleh sebab itu tidak perlu
ada perundingan lagi dengan mereka. dan Ali semestinya meneruskan peperangan
sampai para pembangkang itu hancur dan tunduk.
Kemudian
orang-orang Khawarij mulai mengafirkan siapa saja yang dianggap melakukan
kesalahan, seperti Utsman bin Affan yang melakukan kesalahan karena mengubah
sistem politiknya sehingga menimbulkan huru-hara. Kemudian Thalhah. Zubair dan
Mu’awiyah yang melakukan pembangkangan terhadap Ali bin Abi Thalih sebagai
khalifah yang sah. Dan Ali bin Abi Thalib sendiri yang melakukan kesalahan
karena menghentikan pertempuran dalam perang Siffin, ketika menaklukkan
mu’awiyah yang tidak mau bai’at kepadanya.
Pada awalnya tuduhan kafir
tersebut dilontarkan mereka kepada Mu’awiyah, Amru bin Ash, Ali bin Abi Thalib
dan Abu Musa al-Asy’ari, yang keempatnya ini pelaku utama proses tahkim (damai)
untuk mengakhiri peperangan. Namun, tahkim tersebut menurut orang-orang
khawarij tidak sesuai dengan ketentuan ajaran agama, karena Mu’awiyah adalah
pembangkang yang seharusnya diperangi sampai hancur dan tunduk. Dengan
demikian, jalan terakhir tersebut tidak sesuai dengan ketentuan hukum Allah,
dan barang siapa menetapkan sesuatu dengan ketentuan yang tidak sesuai dengan
hukum Allah tergolong orang-orang kafir, sebagaimana dikemukakan dalam surah
al-Maidah ayat 44 yang berbunyi:
Artinya:
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang
menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh
nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan
pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab
Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut
kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar
ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir.”
Kemudian
sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa pada akhirnya mereka mengafirkan
orang-orang yang melakukan kesalahan (dosa) besar, karena tidak mengikuti hukum
Allah juga termasuk suatu kesalahan besar. Kendati semua yang mereka kafirkan
itu adalah para pelaku pilitik yang menuntut pandangannya melakukan kesalahan
besar dengan tidak mengikuti norma agama sesuai Al-Qur’an, namun demikian
mereka juga mengafirkan para pelaku dosa besar di luar politik, bahkan lebih
jauh mereka mengafirkan orang-orang yang tidak sependapat dan tidak sealiran
dengan mereka. Akhirnya semakin banyak konflik dan pertempuran akibat pemikiran
teologinya itu, sehingga Ali bin Abi Thalib penguasa sah saat itu menyerang
mereka dan menghancurkannya tahun 37 H. Akan tetapi salah seorang dari mereka
ada yang selamat dan membunuh Ali bin Abi Thalib tahun ke-40 H.
Walaupun
telah dihancurkan Ali bin Abi Thalib tahun ke-37 H, namun sisa-sisa kekuatan
mereka masih terus bergerak dan berhasil menghimpun kekuatan lagi, sehingga
terus melakukan gerakan oposisi terhadap daulah Umayah. Akan tetapi, kelompok
ini rentan sekali sehingga mudah pecah, dapat dihancurkan kembali oleh Banu
Umayah pada tahun 70 H. Sisa-sisanya dari sub sekte Ibadiyah (sebutan sub sekte
Khawarij yang sangat moderat) sampai kink masih ada di Sahara Al-Jazair,
Tunisia, Pulau Zebra, Zanzibar, Omman dan Arabia Selatan, dan tidak melakukan
perlawanan politik apa-apa terhadap penguasa yang sah.
Sesuai
dengan uraian diatas, maka pemikiran kalam aliran khawarij yang paling menonjol
adalah tentang pelaku dosa besar yang menurut mereka tergolong orang kafir, dan
termasuk pada kategori dosa besar adalah sikap menentang terhadap pemikiran
khawarij sehingga orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka tergolong kafir.
Di
samping itu, mereka mempunyai pemikiran yang khas tentang definisi iman. Yakni
menurut mereka iman itu adalah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan
dan mengamalkan dengan anggota badan. Sejalan dengan definisinya ini, maka orang-orang
yang tidak mengamalkan ajaran agamanya, atau melakukan pelanggaran dalam
kategori dosa besar, termasuk kufur, karena amal mempengaruhi iman.
Dengan
demikian pokok-pokok pikiran aliran ilmu kalam mereka dapat disimpulkan sbb :
1)
Orang
Islam yang melakukan dosa besar adalah termasuk Kafir
2)
Orang
yang terlibat perang Jamal yakni perang antara Ali dan Aisyah dan pelaku
arbitrase antara Ali dan Mua’awiyah dihukum Kafir
3)
Kholifah
menurut mereka tidak harus keturunan Nabi atau suku quraisy
Mempercayai bahwa muhamad
bin hanafiah sebagai pemimpin setelah husein Ali wafat
A.
Nama
kausaniyah diambil dari nama kaisan yaitu nama budak Ali Bin Abuthilib.
Mesikpun sekte(organisasi) ini punah, cerita kebesaran muhamad bin hanafiah
dapat di jumpai dalam cerita rakyat, hikayat ini terkenal sejak abad 15 M di
malaka.
B.
Saidiyah
: Yaitu sekte ini mengakui ke kalifahan Abu bakar & Umar sekte syi’ah
mempercayai bahwa Zaed Bin Ali Bin Husein Zaenal Abidin merupakan peimpin setelah husein bin
Ali wafat. Dalam sekte ini ada 5 syarat untuk dapat di angkat sebagai pemimpin.
Yaitu :
1).
Berasal dari keturunan Fatimah Binti Muhammad
2).
Berpengetahuan luas tentang agama
3).
Hidupnya untuk beribadah
4).
Jihad di jalan Allah dengan mengangkat senjata
5).
Berani
C.
Sekte
Imamiyah : yaitu sekte Syi’ah yang menunjukan langsung Ali Bin Abitholib untuk
menjadi imam oleh rassulullah Sebagai pengganti
beliau. Sehingga sekte ini tidak mengakui Abu bakar dan Umar.sekte
imamyah pecah menjadi 2 golongan, yang terbesar yaitu:
1).
Isna Asy’ariah / Syi’ah dua 12 Ismailiyah
3. Aliran
Murji’ah
Sejak
terjadinya ketegangan politik di akhir pemerintahan Utsman bin Affan, ada
sejumlah sahabat nabi yang tidak mau ikut campur dalam perselisihan politik.
Ketika selanjutnya terjadi salah menyalahkan antara pihak pendukung Ali dengan
pihak penuntut bela kematian Utsman bin Affan, maka mereka bersikap “irja”
yakni menunda putusan tentang siapa yang bersalah. Menurut mereka, biarlah
Allah saja nanti di hari akhirat yang memutuskan siapa yang bersalah di antara
mereka yang tengah berselisih ini.
Selanjutnya
mereka kaum khawarij berpendapat bahwa mukmin yang melakukan dosa besar itu
menjadi kafir dan kelak akan kekal dalam neraka, maka Kaum Murji’ah berpendapat
bahwa mukmin yang melakukan dosa besar tersebut masih tetap mukmin, yaitu
mukmin yang berdosa tidak berubah menjadi kafir. Lalu apakah mereka akan masuk
ke dalam neraka atau surga, atau masuk neraka terlebih dahulu baru kemudian ke
dalam surga, ditunda sampai ada putusan akhir dari Allah. Disamping itu, khusus
bagi para pelaku dosa besar, mereka juga berharap agar mereka mau bertaubat,
dan berharap pula agar taubatnya diterima di sisi Allah SWT.
Karena
penundaan semua putusan terhadap Allah, serta senantiasa berharap Allah akan
mengampuni dosa-dosa para pelaku dosa besar tersebut, maka mereka ini kemudian
populer disebut sebagai golongan atau aliran “murji’ah” (orang yang mendapat
putusan para pelaku dosa besar sampai ada ketetapan dari Allah, sambil berharap
bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka itu).
Pendirian
Murji’ah di atas sangat moderat, sehingga menjadi pendirian umat Islam pada
umumnya tentang mukmin yang berbuat dosa besar. Mereka sendiri kemudian disebut
sebagai penganut aliran Murji’ah moderat. Akan tetapi pada akhir abad pertama
dan awal abad kedua hijrah, muncul orang-orang murji’ah ekstrim yang sangat
meremehkan peran amal perbuatan. Mereka selanjutnya berpendapat bahwa siapa
saja yang meyakini keesaan Allah dan ke-Rasulan Muhammad SAW, adalah orang
beriman walaupun selalu melakukan perbuatan buruk. Bahkan seorang tidak boleh
dikatakan kafir kendati sering melakukan ibadah di dalam gereja, karena keimanan
itu ada dalam hati, dan hanya dapat diketahui oleh Allah. Tokoh-tokoh aliran
murji’ah ekstrim ini adalah Jaham bin Shafwan, Abu Hasan al-Shalih, Muqatil bin
Sulaiman dan Yunus al-Samiri.
Kaum
murji’ah ekstrim ini banyak memperoleh kecaman dari para ulama saat itu, dan
tidak memperoleh pengikut, serta akhirnya lenyap. Sedang murji’ah moderat
kemudian menjadi pengikut aliran Ahlus Sunrah wal Jama’ah.
Pemikiran
yang paling menonjol dari aliran ini adalah bahwa pelaku dosa besar tidak
dikategori sebagai orang kafir, karena mereka masih memiliki keimanan dan
keyakinan dalam hati bahwa Tuhan mereka adalah Allah, Rasul-Nya adalah
Muhammad, serta Al-Qur’an sebagai kitab ajarannya serta meyakini rukun-rukun
iman lainnya.
Disamping
itu, mereka berpendapat bahwa iman itu adalah mengetahui dan meyakini atas
ke-Tuhanan Allah dan ke-Rasulan Muhammad. Mereka tidak memasukkan unsur amal
dalam iman, sehingga amal tidak mempengaruhi iman. Oleh sebab itu pulalah
mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin, dan tidak terkategori
sebagai orang kafir sebagaimana dinyatakan ajaran khawarij. Sedangkan dosanya
harus mereka pertanggungjawabkan di akhirat kelak.
1)
Dengan
demikian pokok-pokok pikiran aliran ilmu kalam mereka dapat disimpulkan sbb: Pengakuan
Iman Islam cukup di dalam hatinya saja
dan tidak dituntut membuktikan keimanan dengan perbuatan.
2)
Selama
seorang muslim meyakini dua kalimat syahadat apabila ia berbuat dosa besar maka
tidak tergolong kafir dan hukuman mereka ditangguhkan di akhirat dan hanya
Allah yang berhak menghukum
4. Aliran
Qadariyah
Sebagaimana
khawarij dan murji’ab, aliran teologi qadariyah juga lahir dengan
dilatarbelakangi oleh kegiatan politik, yakni pada masa pemerintahan mu’awiyah
bin Abu Sufyan, dari Daulah Banu Umayah. Sepeninggal Ali bin Abi Thalib, tahun
40 H mu’wiyah menjadi penguasa daulah islamiyah. Dan untuk memperkokoh
kekuasaannya itu, dia menggunakan berbagai cara, khususnya dalam menumpas semua
oposisi, bahkan mendiang Ali bin Abi Thalib dicaci maki dalam setiap kesempatan
berpidato termasuk saat berkhotbah Jum’at.
Para
ulama yang shalil banyak yang tidak setuju dengan gaya dan cara mu’awiyah,
namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk menutupi kesalahan itu, mereka
mengembalikan semuanya kepada Allah bahwa semua yang terjadi atas kehendak-Nya.
Isu ini kemudian dimanfaatkan pula oleh mu’awiyah dalam memimpin daulah
islamiyah, bahwa semua yang dilakukan itu atas kehendak Allah.
Dalam
suasana inilah muncul Ma’bad al-Jauhani dan Ghailan al-Damasyqi, dua tokoh
pemberani yang melontarkan kritik terhadap mu’awiyah sekaligus menentang
pernyataan teologis yang membenarkan tindakan politiknya. Menurut keduanya,
manusia bertanggung jawab untuk menegakkan kebenaran dan kebaikan serta
menghancurkan kedhaliman. Manusia diberi Allah daya dan kekuatan untuk
melakukan suatu perbuatan. Manusia juga diberi kebebasan untuk memilih antara
melakukan sesuatu kebaikan dan keburukan, dan mereka harus
mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya kelak di hari akhir.
Bila
manusia memilih untuk melakukan perbuatan baik, maka dia akan memperoleh pahala
di sisi Allah dan akan memperoleh kebahagiaan dalam hidup di akhiratnya kelak.
Sedang mereka yang memilih melakukan perbuatan buruk, akan memperoleh siksa
dalam neraka. Manusia tidak boleh berpangku tangan melihat kedzaliman dan
keburukan. Manusia harus berjuang melawan kedzaliman dan menegakkan kebenaran.
Manusia bukanlah majbur (dipaksa oleh Allah). Karena Ma’bad dan Ghailan ini
mengajarkan bahwa manusia memiliki qudrah untuk mewujudkan suatu perbuatan,
maka fahamnya dinamakan faham “qadariyah”.
Kemudian
Ma’bab al-Jauhani ikut menentang kekuasaan Bani Umayah dengan membantu
Abdurrahman ibnu al-Asy’ats, gubernur Syijistan yang memberontak melawan daulah
Banu Umayah. Dalam suatu pertempuran tahun 80H. Ma’bad al-Jauhani mati
terbunuh. Sedang temannya Ghailan al-Darmasqi terus menyirakan faham qadariyah
itu, dengan banyak melontarkan kritik terhadap Banu Umayah, dan sering keluar
masuk penjara, dan akhirnya dia menjalani hukuman mali pada masa pemerintahan
Hisyam bin Abd al-Malik (105-125 H).
Sesuai
dengan uraian diatas, pemikiran yang menonjol dari aliran ini adalah soal
perbuatan manusia dan kekuatan Tuhan. Dalam pandangannya, manusia mempunyai
kebebasan untuk menentukan perbuatannya serta melakukan perbuatannya itu. Dan
di akhirat mereka harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan itu. Sejalan
dengan pemikirannya ini, mereka berpendapat bahwa Tuhan telah memberikan daya
kepada manusia, serta memberikan aturan-aturan hidup yang sangat jelas dengan
berbagai akibatnya. Ada perbuatan-perbuatan baik yang akan memberi mereka
imbalan pahala dan kebahagiaan akhirat, dan ada pula perbuatan-perbuatan jahat
dan ancaman siksaan mereka bagi yang melanggarnya.
Daya
yang diberikan Tuhan itu kemudian menjadi milik manusia sendiri untuk mereka
gunakan melakukan berbagai perbuatan. Kalau mereka gunakan untuk melakukan
perbuatan baik sesuai petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah, maka mereka akan
memperoleh kebahagiaan. Dan sebaliknya, kalau mereka gunakan untuk melakukan perbuatan buruk, maka mereka
harus mempertanggung jawabkan
semua perbuatannya itu.
Inilah yang kemudian disebut dengan konsep keadilan
Tuhan.
Pemikiran
mereka ini mempunyai landasan yang cukup kuat antara lain firman Allah dalam
Surat Al-Kahfi ayat 29 yang berbunyi :
Artinya :
“Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang
ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi
orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka
meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang
mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat
istirahat yang paling jelek.”
Ungkapan
senada juga dikemukakan Allah dalam Surat Al-Ra’du ayat ke-11 yang
Artinya:
“Bagi
manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan
di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak
merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum,
maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi
mereka selain Dia.”
Dengan
demikian, aliran qadariyah merupakan suatu aliran ilmu kalam yang menekankan
kebebasan manusia dalam melakukan perbuatannya, dan mereka harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya itu di sisi Allah kelak di hari
perhitungan. Mereka yang berprestasi dalam melakukan amal kebajikan akan
memperoleh imbalan pahala di dalam surga, sementara yang justru banyak
melakukan perbuatan jahat, serta kurang berprestasi dalam melakukan perbuatan
baik, akan terkena ancaman siksa di dalam neraka. Posisi manusia di surga atau
neraka tersebut, menurut aliran ini sangat tergantung pada perbuatannya selama
hidup di dunia ini.
Pemikiran-pemikiran
qadariyah ini kemudian diikuti den diteruskan oleh para penganut aliran
mu’tazilah, khususnya pada aspek pemikiran mereka tentang perbuatan manusia,
dan kekuasaan mutlak Tuhan. Yakni bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk
menentukan kehendak serta perbuatannya, namun mereka harus
mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di hadapan Tuhan. Aliran mu’tazilah
meneruskan pemikiran qadariyah mi, karena aliran terakhir ini mempunyai
kecenderungan yang sama dalam memahami ajaran-ajaran aqidah, terutama dalam
aspek-aspek yang boleh berbeda pendapat, yaitu pada ajaran-ajaran yang
dikemukakan dengan lafal zhanni Aliran qadariyah dan mu’tazilah sama-sama
menganut aliran rasional dalam pemahaman kalam mereka.
5. Aliran
Jabariyah
Kalau
qadariyah lahir seiring dengan lontaran-lontaran kritik terhadap kekejaman
Daulah Banu Umayah, maka Jabariyah sebaliknya, aliran ini lahir bermula dari
ketidak berdayaan dalam menghadapi kekejaman mu’awiyah bin Abu Sufyan, dan
mengembalikan semuanya atas kehendak dan kekuasaan Tuhan. Kemudian isu
keagamaan ini dipegang oleh mu’awiyah sendiri untuk membenarkan perlakuan-perlakuan
politiknya itu. Oleh sebab itu masa kelahirannya sebenarnya berbarengan dengan
kelahiran qadariyah. Namun pada masa munculnya, yang dipelopori oleh Ja’ad bin
Dirham, pemikiran kalam ini belum berkembang. Dan menjadi satu aliran yang
punya pengaruh serta tersebar di masyarakat setelah dikembangkan oleh Jahm bin
Shafwan (W.131 H). Oleh sebab itu, aliran ini sering juga disebut aliran
Jahmiyah.
Dilihat
dari segi pemikiran kalamnya, aliran Jabariyah bertolak belakang dengan
qadariyah. Menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemampuan untuk
mewujudkan perbuatannya, dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih. Segala
gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia, pada hakikatnya adalah dari Allah
semata. Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala atau
siksa, karena perbuatan
baik atau jahat yang dilakukannya. Faham bahwa yang dilakukan manusia adalah
sebenarnya perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya pahala dan siksa.
Menurut
faham ini, manusia tidak hanya bagaikan wayang, yang digerakkan oleh dalang,
tapi manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Sementara nasib mereka di akhirat sangat ditentukan
oleh kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Yakni posisi mereka ditentukan oleh
kekuasaan mutlak Tuhan. Pemikiran-pemikiran kalam dari aliran Jabariyah ini
kemudian banyak diserap oleh aliran Asy’ariyah, karena keduanya sama-sama
memiliki kecenderungan untuk mengikuti aliran tradisional, yakni aliran ilmu
kalam yang kurang menghargai kebebasan manusia, serta kurang melakukan
pendekatan logika nalar dalam pemikiran kalam mereka.
6. Aliran
Mu’tazilah
Lahirnya
aliran teologi mu’tazilah tidak terlepas dari perkembangan pemikiran-pemikiran
ilmu kalam yang sudah muncul sebelumnya. Aliran ini lahir berawal dari tanggapan
Washil bin Atha’ salah seorang murid Hasan Bashri di Bashrah, alas pemikiran
yang dilontarkan khawarij tentang pelaku dosa besar. Ketika Hasan Bashri
bertanya tentang tanggapan Washil terhadap pemikiran khawarij tersebut, dia
menjawab bahwa para pelaku dosa besar bukan mukmin dan juga bukan kefir. Mereka
berada dalam posisi antara mukmin dan kafir (orang fasik). Kemudian Washil
memisahkan diri dari jamaah Hasan Bashri, dan gurunya itu secara spontan
berkata Ttazala ‘anna” (Washil memisahkan diri dari kita semua). Karena itulah
kemudian pemikiran yang dikembangkan Washil menjadi sebuah aliran yang oleh
anggota jamaah Hasan Bashri dinamai dengan “mu’tazilah”.
Kelompok
ini kemudian mengembangkan diri dengan memperkaya wawasan keilmuannya melalui
penelaahan mendalam terhadap literatur-literatur Yunani yang berada di
pusat-pusat studi gereja timur, yaitu Antochia, Jundisaphur dan Alexandria.
Langkah-langkah kieatif tersebut, mereka lakukan dalam rangka menghadapi
serangan-serangan logika kelompok Kristen terhadap teologi Islam dan kemudian
menghasilkan suatu format pemikiran ilmu kalam yang lebih cenderung menggunakan
pendekatan berpikir filsafat, sehingga aliran ini kemudian terkenal dengan
aliran kalam rasional.
Sebenarnya
mereka sendiri menanamkan dirinya sebagai ahlu at-tauhid (menjaga ke-Esa-an
Allah) dan ahlu al-’adl (mempercayai dan meyakini penuh akan keadilan Tuhan),
karena rumusan-rumusan pemikiran kalamnya itu benar-benar menjaga kemurnian
tauhid dan prinsip keadilan Tuhan. Dan ajaran-ajaran pokoknya itu tertuang
dalam rumusan “Mabadi al-Khamsah” (lima dasar ajaran), yaitu al-Tauhid,
al-’adlu, al-wa’du wa al-wa’id, al-manzilah baina al-manzilatain, serta amar
ma’ruf nahi munkar.
At-tauhid
artinya mengesakan Allah, yakni Allah itu benar-benar Esa dalam segala-galanyb,
tidak ada sesuatu pun yang dapat menandingi ke-Esa-annya itu. Sehubungan dengan
prinsip Tauhidnya itu, mu’tazilah menafikan sifat, karena merupakan sesuatu
yang berada di luar zat. Kalau ada sifat berarti ada dua yang qadim yaitu zat
dan sifat. Untuk menghindari pemikiran yang akan membawa kepada kemusyrikan
tersebut, mereka nafikan sifat Tuhan, dan seterusnya mereka berpendapat bahwa
sifat-sifat itu adalah zat Tuhan sendiri. Kemudian untuk menjaga prinsip,
ketauhidannya itu, Mu’tazilah juga berpendapat bahwa al-Qur’an itu makhluk,
karena kalau bukan makhluk akan ada qadim lain selain Allah.
Sedangkan
al-’adlu adalah suatu prinsip yang mengatakan bahwa Tuhan itu Maha Adil, Dia
akan memberikan imbalan pahala dan jaminan kebahagiaan bagi orang yang tidak
berprestasi dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik. Dan dia tidak akan,
menyiksa orang-orang shahih. Seiring dengan prinsip keadilannya itu, maka Allah
sudah menetapkan janji dan ancaman senada yang akan dipatuhi-Nya sendiri. Akan
tetapi, prestasi keagamaan setiap orang itu pasti berbeda, bisa saja ada orang
mukmin yang kelakuannya seperti orang kafir. Inilah yang mereka sebut sebagai
orang fasik, yang menempati posisi antara mukmin
dan kafir.
Sedang
di akhirat nanti mereka akan tetap memperoleh siksa atas perbuatan-perbuatan
dosanya, namun siksanya tidak sama dengan siksaan orang kafir Untuk menghindari
posisi ini, dan agar semua orang menjadi orang baik, maka mereka mewajibkan
amar ma’ruf nahi munkar sebagai wajib ‘ain. Dengan demikian kelima dasar ajaran
rnu’tazilah ini merupakan suatu rangkaian logis, yang satu sama lain mempunyai
keterkaitan.
Aliran
teologi mu’tazilah ini menjadi aliran resmi di Daulah Bani Abbasiah pada zaman
pemerintahan al-Makmun (198-218 H), dan dua
khalifah sesudahnya, Mu’tashim (218-227 H) dan al-Wasiq (227-232 H).
Namun dihancurkan kembali oleh al-Mutawakil pada tahun 234 H, sehingga kekuatan
aliran ini kembali lemah dan diganti kemudian dengan aliran Asy’ariyah yang
lebih terkenal dengan Ahlus Sunah wal Jama’ah.
Kesimpulan dari pokok-pokok
Mu’tazilah adalah sebagai berikut:
Aliran Mu’tazilah memiliki
lima ajaran pokok yaitu :
1. Tauhid (Keesaan Allah SWT)
Terkait
hal ini mu’tazilah berpendapat, antara lain :
·
Mengingkari
sifat-sifat Allah SWT, menurut Kaum Mu’tazilah apa yang dikatakan sifat adalah
tak lain dari zat-Nya sendiri;
·
Al-Qur’an
me.nurutnya adalan makhluk (baru);
·
Allah
di akhirat kelak tidak dapat dilihat oleh panca indra manusia, karena Allah
tidak akan terjangkau oleh mata
2. Keadilan Allah SWT
Setiap
orang Islam harus percaya akan keadilan Allah, tetapi aliran mu’tazilah,
memperdalam arti keadilan serta menunjukkan batas-batasnya, sehingga
menimbulkan beberapa masalah. Dasar keadilan yang diyakini oleh kaum Mu’tazilah
adalah meletakkan pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya. Dalam
menafsirkan keadilan tersebut mereka mengatakan sebagai berikut :
“Tuhan tidak menghendaki
keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia. Manusia bisa mengerjakan
perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, dengan kekuasaan
yang diciptakan-Nya terhadap diri manusia. la hanya memerintahkan apa yang
dikehendaki-Nya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkan-Nya
dan tidak campur tangan dalam keburukan yang dilarang-Nya.
Aliran
ini berpendapat bahwa Allah akan memberikan balasan kepada manusia sesuai
dengan apa yang diperbuat manusia. (Mulyadi, 2005, hal. 108)
3. Janji dan Ancaman
Aliran
mu’tazilah berpendapat, bahwa Allah tidak akan mengingkari janji-Nya; memberi
pahala kepada orang muslim yang berbuat baik, dan menimpakan azab kepada yang
berbuat dosa (Mulyadi, 2005, hal. 108)
4. Posisi di antara dua posisi (al-manzilatu bainal
manzilatain)
Karena
prinsip ini, Washil bin ‘Atha memisahkan diri dari majlis Hajsan Bashri,
seperti yang disebutkan di atas. Menurut pendapatnya,, seseorang muslim yang
mengerjakan dosa besar ia tergolong bukan mukmin tetapi juga tidak kafir,
melainkan menjadi orang fasik. Jadi kefasikan merupakan tempat tersendiri
antara “kufur” dan “iman”. Tingkatan seorang fasik berada di bawah orang mukmin
dan diatas orang kafir.
Jalan
tengah ini kemudian berlaku juga dalam bidang-bidang lain. Jalan tengah ini
diambil oleh aliran mu’tazilah dari sumber-sumber agama Islam, yaitu:
a)
Al-Qur’an
: banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menganjurkan dan memuji untuk mengambil jalan
tengah seperti (QS. Al-Isra’: 31) “Jangan engkau jadikan tanganmu
terbelenggu di lehermu dan
Jangan pula terlalu membeberkannya seluruhnya”. Ia juga
menggunakan argument (QS. Al-Baqarah: 137).
b)
Al-Hadits
: seperti (sebaik-baiknya perkara ialah yang berada di tengah-tengah) (Mulyadi,
2005, hal 109)
5. Amar makruf dan nahi mungkar
Ajaran
mu’tazilah mengenai tuntutan untuk berbuat baik dan mencegah segala perbuatan
yang tercela ini lebih banyak berkaitan dengan fiqh.
Kelima
prinsip tersebut merupakan dasar utama yang harus dipegang oleh setiap orang
mu’tazilah dan hal ini sudah menjadi kesepakatan mereka. Akan tetapi mereka
berbeda-beda pendapat dalam soal-soal kecil dan terperinci. ketika memperdalam
pembahasan kelima prinsip tersebut dan menganalisanya dengan didasarkan atas
pikiran filsafat Yunani dan Iain-lain. Karena itu sebenarnya pemikiran aliran
mu’tazilah sangat beragam. sebagaimana halnya dengan bermacam-macam aliran
filsafat, seperti Stoic, Epicure. Phytagoras, Neo-Platonismc dan sebagainya,
yang k9semuanya disebut filsafat Yunani. (Mulyadi, 2005, hal 109)
7. Aliran
Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Aliran
ini dilahirkan dan dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H) pada
tahun 300 H di Baghdad. Abu Hasan al-Asy’ari sendiri pada awalnya adalah
seorang pengikut aliran teologi Mu’tazilah, namun dia terus dilanda keraguan
dengan pemikiran-pemikiran kalam mu’taziiah, terutama karena kaberanian
mu’tazilah dalam mena’wilkan ayat-ayat mutasyabihat untuk mendukung logika
teologi mereka, sehingga pemaknaannya berbeda dengan lafalnya, dan juga karena
keberanian mereka dalam membatasi penggunaan al-Sunnah hanya yang mutawatir
saja untuk doktrin-doktrin aqidahnya.
Karena
keraguannya itulah, pada usianya yang ke-40 al-Asy’ari yang menyatakan keluar
dari Mu’tazilah dan mengembangkan pemikiran teologi sendiri, dengan
memperbanyak penggunaan al-Sunnah dan membatasi
penggunaan logika filsafat dalam pemikiran kalamnya itu. Karena
membatasi penggunaan logika filsafat dan memperbanyak penggunaan al-Sunnah,
maka pemikiran-pemikiran kalam Abu Hasan
mudah dipahami oleh orang banyak, dan memperoleh pengikut serta pendukung yang
cukup besar. Sejalan dengan itu, aliran teologinya ini disebut dengan Ahlus Sunah wal Jama’ah artinya aliran
kalam yang banyak menggunakan al-Sunnah dalam perumusan-perumusan pemikiran
kalamnya, dan memperoleh pengikut yang cukup besar (wal jama’ah) dari kalangan
masyarakat, khususnya dari lapisan yang tidak mampu menjangkau pemikiran kalam
rasional yang diperkenalkan aliran mu’tazilah dan aliran juga sering disebut
asy’ariyah karena dinisbitkan pada tokohnya.
Berbagai
pemikiran kalam yang dikemukakan mu’tazilah dia kritisi habis. Seperti tentang
sifat. Dia katakan Tuhan itu mempunyai sifat, karena kalau sifat-sifat itu
dikatakan sebagai zat seperti yang dikemukakan mu’tazilah, maka akan terjadi
kerancuan yang sangat besar. Seperti tentang “ilmu”, kalau ilmu (pengetahuan)
dijadikan sebagai zat dan bukan sebagai sifat, maka Tuhan itu adalah ilmu atau
pengetahuan. Padahal Tuhan adalah Allah Yang Maha Tahu, bukan ilmu atau
pengetahuan itu sendiri.
Demikian
pula dengan al-Qur’an, menurutnya kitab suci ini qadim karena al-Qur’an itu
kalam Allah, maka posisinya sama seperti pemilik kalam. Kalau Allah qadim, maka
kalam-Nya pun qadim. Disamping itu, keyakinan bahwa AI-Qur’an itu makhluk juga
akan dihadapkan dengan kerancuan logika berpikir, karena Allah menciptakan
makhluk-Nya ini dengan kata-kata “kun”. Dan kalau kata “kun” sendiri sudah
makhluk make perlu “kun” yang lain untuk menciptakannya, dan begitulah
seterusnya tanpa ada akhir, sehingga terjadi lingkaran logika yang tidak
berujung (tasalsul).
Kemudian
ayat-ayat mutajasimah yang dita’wilkan Mu’tazilah, dia bahwa pada pengertian
lafalnya, hanya saja tidak bisa diidentifikasikan seperti kata Yadullah, yang
diartikan mu’tazilah sebagai kekuasaan Allah, Abu Hasan menafsirkannya dengan
tangan Allah. Hanya saja dia tidak bisa mengidentifikasikan bentuk tangan-Nya
itu, sehingga dia mengatakan bahwa Allah itu bertangan namun tangan-Nya itu
tidak bisa diidentifikasi (layukayyaf). Demikian pula dengan ayat-ayat
mutajasimah lainnya.
Sebagaimana
telah dikemukakan di atas, aliran teologi ini, mulai berkembang tahun 300 H,
dan mempunyai pengaruh pada pemerintahan Abbasiah, bahkan untuk seterusnya
sampai kini, pada umumnya umat Islam di dunia termasuk di Indonesia menganut
aliran teologi ini, walaupun sebahagian kalangan intelektual muslim sudah mudah
keluar dari doktrin-doktrin Asy’ariyah dan memasuki aliran kalam rasional.
Adapun
pokok-pokok pikiran golongan ahlu sunnah wal jama’ah dapat disimpulkan sbb:
1)
Sifat
Tuhan
Pendapat
Al-Asy’ari dalam soal sifat Tuhan terletak di tengah-tengah antara aliran
Mu’tazilah di satu pihak rian aliran Hasywiah dan Mujassimah di lain pihak.
Aliran Mu’tazilah tidak mengakui sifat-sifat wujud, qidam, baqa dan wahdaniah
(Ke-Esa-an). Sifat zat yang lain, seperti sama’, bashar dan lain-lain tidak
lain hanya zat Tuhan sendiri. Golongan Hasywiah dan Mujassimah mempersamakan
sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat makhluk. Al-Asy’ari mengakui sifat-sifat
Allah yang tersebut sesuai dengan zat Allah sendiri dan sama sekali tidak
menyerupai sifat-sifat makhluk. Jadi, Allah mendengar tetapi tidak seperti
manusia mendengar. Allah dapat melihat tetapi tidak seperti penglihatan
manusia, dan seterusnya.
2)
Kekuasaan
Tuhan dan perbuatan manusia
Pendapat
Al-asy’ari dalam soal ini juga tengah-tengah antara aliran Jabariah dan aliran
Mu’tazilah. Menurut aliran Mu’tazilah, manusia itulah yang mengerjakan
perbuatannya dengan suatu kekuasaan yang diberikan Allah kepadanya. Menurut
aliran Jabariah, manusia tidak berkuasa mengadakan atau menciptakan sesuatu,
tidak memperoleh (kasb) sesuatu bahkan ia laksana bulu yang bergerak kian
kemari menurut arah angin yang meniupnya. Datanglah Al-Asy’ari dan mengatakan
bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk
memperoleh (kasb) sesuatu perbuatan.
3)
Melihat
Tuhan pada hari Qiyamat
Menurut
aliran Mu’tazilah Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala dan dengan
demikian, mereka menakwilkan ayat-ayat yang mengatakan ru’yat, disamping
menolak hadits-hadits Nabi yang menetapkan ru’yat Karena tingkatan hadits
tersebut mereka adalah hadits ahad (hadits perseorangan). Menurut golongan
Musyabihat, Tuhan dapat dilihat dengan cara tertentu dan pada arah tertentu
pula. Dengan menempuh jalan tengah antara kedua golongan tersebut, Al-Asy’ari
mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat kelak.
4)
Dosa
besar
Aliran
Mu’tazilah mengatakan, apabila pembcat dosa besar tidak bertobat dan dosanya
itu, meskipun ia mempunyai iman dan kataatan, tidak akan keluar dari neraka.
Aliran Murji’ah mengatakan, siapa yang iman kepada Tuhan dan mengiklilaskan
diri kepada-Nya, maka bagaimanapun besar dosa yang dikerjakannya, namun tidak
akan mempengaruhi imannya, artinya tetap dipandang sebagai orang mukmin.